Oleh Heri Faisal
Begitulah sepanjang 90 menit waktu yang diberikan panitia SNMPTN untuk menyelesaikan soal ujian. Dengan gigih ia mendengarkan. Sesekali tangannya sibuk mengutak atik riglet, alat khusus bagi tunanetra untuk menuliskan huruf-huruf braille, berarti ia tengah menghitung-hitung rumus untuk mendapatkan jawaban.
Di ruang guru SMA Bunda Ulakkarang Padang, Nasrul, peserta tunanetra mengikuti ujian dengan dibantu pengawas khusus. Ia sengaja mengikuti ujian secara terpisah karena panitia SNMPTN tidak memiliki lembar soal khusus tunanetra. Padahal, Nasrul mengaku sangat membutuhkan lembar-lembar soal yang menggunakan huruf braille. ”Kalau ujian seperti ini lama. Harus mendengarkan dulu, waktunya tidak cukup,” kata Nasrul ketika ditemui wartawan saat jeda ujian kedua.
Nasrul alumni SMA Negeri 2 Payakumbuh. Ia mengalami kebutaan sejak lahir. Ketika berusia dua tahun, ia sempat dioperasi dan sedikit membaik. Namun, kondisinya kembali seperti semula setelah enam bulan pascaoperasi mengalami kecelakaan. Orangtuanya tidak memiliki cukup uang untuk operasi.
Sejak itu, Nasrul menerima nasibnya sebagai tunanetra. Orangtuanya menyekolahkan di SD SLB Payakumbuh. Meski dalam keadaan kekurangan, Nasrul mampu menunjukkan dirinya tidak kalah dengan siswa lainnya. Sehingga kemudian ia masuk sekolah umum di SMP Negeri 4 Payakumbuh.
Di Padang, Nasrul tinggal dengan pamannya di Indarung. Untuk ikut ujian ia diantar pamannya ke lokasi. Pukul 06.30 pagi ia sudah hadir di sana. Padahal, ujian baru dilaksanakan 1,5 jam kemudian. ”Saya lihat Nasrul punya semangat tinggi,” kata Zulmiyetri, pengawas peserta berkekurangan khusus. Menurutnya, orang-orang seperti Nasrul memiliki insting kuat.
Yetri, demikian sapaan Zulmiyetri, adalah dosen Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UNP. ”Saya lihat, anaknya pintar. Ujian tadi ia jawab semua,” kata Yetri. Selama ujian, Nasrul dibantu Zulmiyetri membacakan soal demi soal. David Rikardo, pengawas cadangan membantu mengisikan data dan jawaban Nasrul di lembar jawaban.
”Nasrul seperti kekurangan waktu, karena harus mendengarkan saya membaca soal terlebih dahulu. Padahal, jika menggunakan braille, ia tentu bisa mengerjakan soal lebih cepat,” kata Yetri. Untuk ujian selanjutnya, Yetri meminta panitia lokal (panlok) Padang memberi tambahan waktu. Namun, permintaan itu sulit terwujud. Ketua Panlok Yanuar Kiram menegaskan, tidak ada dispensasi waktu.
Meski merasa kekurangan waktu, Nasrul optimistis bisa tembus perguruan tinggi pilihannya. ”Saya ingin jadi guru PLB,” katanya bersemangat. Untuk mencapai cita-cita itu, Nasrul memilih jurusan PLB di UNP dan di UPI Bandung. ”Nasrul nanti jadi pengganti ibu jadi dosen PLB saja ya,” kata Yetri memberi semangat. ”Ya, setiap anak berhak mendapat pendidikan yang sama,” jawabnya.
Diterbitkan di Padang Ekspres Rabu, 1 Juni 2011
Dengan seksama, lelaki 19 tahun itu mendengarkan kata demi kata yang dibacakan pengawas ujian SNMPTN, Selasa (31/5). Beberapa detik kemudian tangannya memberikan kode dengan mengangkat empat jari, menandakan ia memilih jawaban D.
Nasrul (tengah, berkacamata) dibantu petugas khusus membacakan lembar ujian. Panitia SNMPTN belum bisa menyediakan lembar khusus tunanetra (f/sy ridwan)
Begitulah sepanjang 90 menit waktu yang diberikan panitia SNMPTN untuk menyelesaikan soal ujian. Dengan gigih ia mendengarkan. Sesekali tangannya sibuk mengutak atik riglet, alat khusus bagi tunanetra untuk menuliskan huruf-huruf braille, berarti ia tengah menghitung-hitung rumus untuk mendapatkan jawaban.
Di ruang guru SMA Bunda Ulakkarang Padang, Nasrul, peserta tunanetra mengikuti ujian dengan dibantu pengawas khusus. Ia sengaja mengikuti ujian secara terpisah karena panitia SNMPTN tidak memiliki lembar soal khusus tunanetra. Padahal, Nasrul mengaku sangat membutuhkan lembar-lembar soal yang menggunakan huruf braille. ”Kalau ujian seperti ini lama. Harus mendengarkan dulu, waktunya tidak cukup,” kata Nasrul ketika ditemui wartawan saat jeda ujian kedua.
Nasrul alumni SMA Negeri 2 Payakumbuh. Ia mengalami kebutaan sejak lahir. Ketika berusia dua tahun, ia sempat dioperasi dan sedikit membaik. Namun, kondisinya kembali seperti semula setelah enam bulan pascaoperasi mengalami kecelakaan. Orangtuanya tidak memiliki cukup uang untuk operasi.
Sejak itu, Nasrul menerima nasibnya sebagai tunanetra. Orangtuanya menyekolahkan di SD SLB Payakumbuh. Meski dalam keadaan kekurangan, Nasrul mampu menunjukkan dirinya tidak kalah dengan siswa lainnya. Sehingga kemudian ia masuk sekolah umum di SMP Negeri 4 Payakumbuh.
Di Padang, Nasrul tinggal dengan pamannya di Indarung. Untuk ikut ujian ia diantar pamannya ke lokasi. Pukul 06.30 pagi ia sudah hadir di sana. Padahal, ujian baru dilaksanakan 1,5 jam kemudian. ”Saya lihat Nasrul punya semangat tinggi,” kata Zulmiyetri, pengawas peserta berkekurangan khusus. Menurutnya, orang-orang seperti Nasrul memiliki insting kuat.
Yetri, demikian sapaan Zulmiyetri, adalah dosen Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UNP. ”Saya lihat, anaknya pintar. Ujian tadi ia jawab semua,” kata Yetri. Selama ujian, Nasrul dibantu Zulmiyetri membacakan soal demi soal. David Rikardo, pengawas cadangan membantu mengisikan data dan jawaban Nasrul di lembar jawaban.
”Nasrul seperti kekurangan waktu, karena harus mendengarkan saya membaca soal terlebih dahulu. Padahal, jika menggunakan braille, ia tentu bisa mengerjakan soal lebih cepat,” kata Yetri. Untuk ujian selanjutnya, Yetri meminta panitia lokal (panlok) Padang memberi tambahan waktu. Namun, permintaan itu sulit terwujud. Ketua Panlok Yanuar Kiram menegaskan, tidak ada dispensasi waktu.
Meski merasa kekurangan waktu, Nasrul optimistis bisa tembus perguruan tinggi pilihannya. ”Saya ingin jadi guru PLB,” katanya bersemangat. Untuk mencapai cita-cita itu, Nasrul memilih jurusan PLB di UNP dan di UPI Bandung. ”Nasrul nanti jadi pengganti ibu jadi dosen PLB saja ya,” kata Yetri memberi semangat. ”Ya, setiap anak berhak mendapat pendidikan yang sama,” jawabnya.
Diterbitkan di Padang Ekspres Rabu, 1 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar