Minggu, 18 Desember 2011

Berkat Mereka Kita Merdeka

Penjaga Makam Pahlawan Peraih Satya Lencana

Oleh Heri Faisal


Pria renta itu tak pernah menyangka dianugerahi bintang Satya Lencana oleh pemerintah Republik Indonesia. Atas pengabdiannya selama 36 tahun di makam pahlawan, Darmawi diganjar penghargaan di senja kala. Bagaimana kisahnya? 

Darmawi ditemui tengah menjalankan rutinitas membersihkan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Negara, di Jalan S Parman, Padang (f/heri)

Darmawi, 72, masih bersemangat menyiangi rumput-rumput yang tumbuh di sekitar 1.700-an makam yang berjejer rapi di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Jalan Siswondo Parman, Lolong, Padang.

Terik matahari tak menyurutkannya membersihkan kuburan para pahlawan itu. Areal seluas tiga hektare itu, dia kerjakan bersama tiga orang lainnya, Hendryanto (putranya), Marju, dan Rahmat.

Dia sudah bekerja sebagai petugas kebersihan di makam tersebut sejak tahun 1970, sendirian. “Kerja saya hanya tiga macam saja,” katanya kepada Padang Ekspres, Rabu (27/7) siang.

Tugas pertamanya, membersihkan kuburan setiap hari, yakni memotong dan mencabuti rerumputan di pusara, dan memunguti dedaunan. “Ya membersihkan semuanya. Kemudian menggali kuburan jika ada yang meninggal, dan menyiapkan semua persiapan jika instansi mengadakan acara, biasanya peringatan PRRI tanggal 15 Februari, peringatan kemerdekaan 17 Agustus, peringatan angkatan perang 5 Oktober, dan peringatan Hari Pahlawan 10 November,” katanya bersemangat.

Sejak Soeharto lengser, katanya, peringatan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tidak pernah dilakukan lagi. Padahal, PRRI bukanlah pemberontak seperti yang diasumsikan orang-orang di pusat selama ini. “Kami tidak mau disebut pemberontak. Kami meminta reformasi dan otonomi daerah,” kata pria kelahiran Alanglaweh, 21 Desember 1940 yang bergabung dengan PRRI sejak pertama berdiri itu.

Mawi—begitu dia dipanggil—yang pada saat itu (tahun 1957) baru berusia 17 tahun, memilih berjuang dengan bergabung bersama PRRI pimpinan Mr Sjafruddin Prawiranegara.

Baginya, PRRI adalah perjuangan untuk mengembalikan Indonesia seperti yang dicita-citakan Proklamasi Kemerdekaan. Bukan sebuah gerakan untuk mengkudeta pemerintah pusat. Di luar itu, dia tidak tahu pasti apa motif di balik pendirian PRRI. Sebagai anak muda, di benaknya hanya berjuang atas nama bangsa. “Kami dilengkapi senjata lengkap. Kolonel M Simbolon menjadi pemimpin kami di lapangan,” kenangnya.

Tiga tahun berjuang bersama PRRI hingga 1960, kecintaannya pada Indonesia bertambah besar. Dia ingat bagaimana Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden akibat tidak sepaham dengan kepemimpinan Soekarno. Begitu juga Sjahrir, yang banyak membantu mereka dari luar negeri, termasuk menyuplai senjata. “Mereka itu menginginkan Indonesia yang baik, yang tidak ada kepentingan,” imbuhnya.

Namun yang paling dia ingat adalah peristiwa peperangan di Triarga, Bukittinggi, antara pasukan PRRI dengan tentara pusat. Di akhir 1959 itu, dia ingat betul ketika selongsong Basoka pasukannya menyisir leher kanannya akibat salah mengambil posisi.

Kontan saja, kejadian ini menyebabkan pendarahan serius di bagian lehernya. Dia tak sadarkan diri selama dua hari. “Saya dirawat di RS Bukittinggi sampai 45 hari. Tapi saya masih ingin turun berperang,” katanya.

Setelah peristiwa PRRI berakhir, Mawi kembali ke Padang dan menikahi gadis pujaannya, Timurwati. Sayang, nasib mantan prajurit I PRRI itu kurang beruntung. Untuk menghidupi keluarga barunya, dia terpaksa kerja serabutan hingga tahun 1970 sebelum diangkat Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat sebagai petugas penjaga makam pahlawan.

Dengan senang hati dia menerima pekerjaan itu. Ayah enam orang anak ini mengaku berkerja di makam pahlawan seperti merawat kembali teman-teman seperjuangannya yang telah pergi. Apalagi, katanya, di makam pahlawan Kusuma Negara ada banyak tentara PRRI yang ikut dimakamkan di situ.

Ketika pensiun pada tahun 2006, Mawi mengaku sedih. Tapi, dia masih tetap turun tangan mengerjakan pekerjaan yang biasa menjadi rutinitasnya. “Mereka di sini pahlawan kita, kalau bukan karena mereka belum tentu kita merdeka. Jasa mereka itu, harus kita kenang terus,” tuturnya berapi sekaligus sedih menyaksikan generasi sekarang yang kurang menghargai para pahlawan.

Atas pengabdian itu, pada 2007 Darmawi akhirnya dianugerahi Bintang Satya Lencana oleh pemerintah Republik Indonesia. “Saya tidak menyangka diberi penghargaan setinggi itu. Saya berterima kasih kepada Allah SWT,” katanya. Mawi mengaku masih ingin terus mengurusi makam pahlawan, sampai akhir hayatnya.

Diterbitkan di Padang Ekspres Senin, 15 Agustus 2011

Tidak ada komentar: