Sabtu, 17 Desember 2011

Atasi Jeratan Ekonomi, Lestarikan Kuliner Lokal

Oleh Heri Faisal
 
Modernisasi membuat kuliner tradisional tak banyak diminati. Anak muda lebih suka menyantap makanan siap saji daripada mengonsumsi makanan tradisional. Lambat laun, kuliner warisan budaya ini tak lagi dilirik. Meski begitu, masih ada satu dua peduli dan menggantungkan hidupnya dari makanan khas Minangkabau tersebut. Bagaimana kisahnya?

Mailinar (57), Penjual Kue Mangkuk Sayak di Koto Tangah, Padang. Tetap berusaha mengantungkan hidup dengan kuliner lokal. (f/sy ridwan)

Pasar pagi di Pasiakandang, Pasia Nantigo, Kototangah, Padang, setiap paginya selalu ramai dikunjungi warga setempat. Pasar tradisional di tepi pantai ini menyediakan segala macam kebutuhan harian. Mulai dari lauk-pauk, sayur mayur, makanan hingga mainan anak, tersedia di sini. Meski tak besar, pasar dengan luas sekitar 50 meter itu memiliki keunikan sendiri.

Salah satunya lapak milik Mailinar, 57. Ukurannya hanya 3 x 2 meter. Hanya ada dua kursi panjang dilengkapi meja. Setiap pagi, kedai ini selalu ramai dikunjungi pembeli. “Kalau pas ramai tak sanggup melayani pembeli,” katanya kepada Padang Ekspres, kemarin (6/12) . Ibu delapan anak itu menjual kue mangkuk sayak khas Minangkabau.   


Setiap hari dia menyediakan 250 porsi kue dengan harga Rp 1.000 seporsi. “Selalu habis terjual,” imbuhnya, sambil tersenyum.
Tampilannya tidaklah mewah, cenderung apa adanya. Begitupun bahan-bahan yang digunakan, hanya tepung terigu, gula saka, dan santan kelapa. Tetapi, kue mangkuk ini menjadi jajanan favorit di pasar tersebut.

Fendi Chaniago, 31, salah seorang pembeli, mengaku yang menarik dari kue tersebut, pengemasannya yang menggunakan sayak (tempurung kelapa). “Itu unik karena tidak banyak yang menjual. Selain itu, memang rasanya gurih kalau dikukus dengan tempurung kelapa daripada cetakan. Apalagi jika dihidangkan panas-panas, aromanya terasa,” ujarnya.

Itu pula yang menjadi alasan Fendi meluangkan waktu menikmati kue mangkuk sayak milik Mailinar setiap paginya. “Sudah harganya murah, rasanya enak dan bikin kenyang. Cocok untuk menu sarapan pagi,” katanya.

Awalnya, Mailinar merintis usaha ini karena tidak ada pilihan lain. Dia tidak punya keterampilan lain selain memasak. Apalagi, membuka usaha itu tidak perlu modal besar. Hanya butuh periuk kukus, tempurung kelapa, dan bahan-bahan pembuatan kue. “Bahannya itu saja, tidak sulit dicari. Tepung diaduk dengan gula saka, kemudian dikukus dalam sayak,” katanya.

Jualan ini baru dimulai sekitar lima tahun lalu. Proses pengukusan pun tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar 5 hingga 10 menit. Setelah adonan tepung yang dikukus matang, ditambahkan dengan santan kelapa. Setelah mengeras, hidangan kue mangkuk sayak pun siap dinikmati. “Paling bagus dimakan selagi panas-panas,” sebutnya.

Kurang Sentuhan

Pengamat ekonomi kreatif dari Universitas Bung Hatta (UBH), Syafrizal Chan menyebut kuliner-kuliner Minangkabau sebenarnya, basis pengembangan ekonomi kreatif. Namun, potensi itu tertutupi akibat serbuan makanan asing yang kemudian mengubah selera masyarakat.

“Sekarang kan terasa betul, masyarakat lebih suka makanan luar yang cepat saji. Akibatnya, banyak makanan tradisional kehilangan tempat di negerinya sendiri. Seperti kue mangkuk sayak, tidak banyak lagi ditemukan di Padang. Kalaupun ada, sudah dikemas dalam plastik-plastik tak ubahnya kue basah yang lain,” katanya kemarin.

Potensi itu, kata dia, mestinya dimanfaatkan untuk mendukung pariwisata Sumbar. “Itu kan unik, wisatawan pasti menginginkan yang unik, menjadi ciri khas dari daerah. Kenapa tidak dimanfaatkan. Potensi itu bisa pula dikembangkan untuk menciptakan industri rumah tangga. Secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” paparnya.

Syafrizal menyebut peran pemerintah masih kurang di bidang itu. “Kurang gesit,” katanya. Meski sudah banyak makanan Minang yang dikenal di mancanegara, dia meminta pemda lebih giat lagi mengenalkan jajanan tradisional Minangkabau. Tidak saja kepada wisatawan asing, tetapi juga menumbuhkan kreativitas masyarakat untuk mencintai warisan budaya.

“Sekarang yang belum tampak, peran serta pemda menggalakkan masyarakat untuk mendukung pariwisata. Itu belum ada,” katanya. Padahal, di Sumbar ada banyak sekolah dan perguruan tinggi yang bisa diajak bekerja sama untuk menciptakan kreativitas tersebut. Terutama yang memiliki jurusan boga.

Penggerak pertama, tambah Syafrizal, tetap pemerintah. Bisa dicontohkan lewat setiap agenda pemda harus menyertakan kuliner-kuliner tradisional. “Bisa dalam agenda rapat, menunya jangan pula makanan luar. Tetapi sediakanlah kuliner-kuliner Minangkabau, dengan begitu pemerintah sudah memberikan contoh baik,” katanya.

Diterbitkan di Padang Ekspres Rabu, 7 Desember 2011

Tidak ada komentar: