Masjid Istighfar Parak Gadang
Oleh Heri Faisal
Sepintas tidak ada yang menarik dari masjid tua itu. Apalagi ditunjang dengan letaknya yang sama sekali tidak mencolok, karena berada di tengah-tengah rumah warga. Lokasi berdirinya tidak familiar seperti kebanyakan masjid modern di tepi jalan raya.
Selain sebuah kuburan tua, dan arsitektur masjid yang tidak mencirikan kekhasan bangunan Minangkabau, masjid ini tak memiliki banyak sisi untuk disebut luar biasa. Tapi cobalah sedikit digali lebih dalam, kuburan tua dan arsitektur berbeda itulah daya tarik masjid tersebut.
Masjid Istighfar yang berlokasi di jalan Parakgadang, Kelurahan Ganting Parakgadang, Kecamatan Padang Timur memang memiliki sejarah panjang. Terutama dengan kuburan tua itu. Di sana dimakamkan Maulana Syekh Khatib Muhammad Ali, pendiri masjid tersebut.
Menurut Ketua Pengurus masjid, H. Muslim Harun, Syekh Khatib mendirikan masjid tersebut sekitar tahun 1905 awal ia menetap di Padang setelah menuntut ilmu agama di Mekkah. Pada awalnya masjid hanya dibangun seadanya dalam bentuk sebuah surau di tepi sungai Batang Arau. Pembangunannya pun hanya menggunakan bahan-bahan kayu, sedikit material pasir dan bebatuan, dan atap rumbia.
Baru beberapa tahun setelahnya, atas bantuan tanah dari warga Parakgadang, maka dibangunlah masjid yang jauh lebih besar di daerah tersebut. Arsitektur bangunannya mengikuti pola Eropa dan dipadukan dengan kebudayaan nusantara, Melayu dan Minangkabau.
Di sana Syekh Khatib mengajar ilmu agama kepada murid-muridnya, hingga pada akhirnya banyak yang menyebar ke seluruh nusantara. Untuk menunjang kegiatan pendidikan keagamaan yang dilakukannya, pada tahun 1923 ia mendirikan Madrasah Irsyadiyah. Pelajarannya meliputi pelajaran tauhid, hadist, tasauf, dan lain-lain.
“Kekhasan bangunan masjid itu masih terus kami pertahankan, walaupun ada beberapa bagian yang sudah rusak dan diperbaiki,” katanya. Sampai saat ini, pengurus masjid dan masyarakat setempat masih mempertahankan bentuk masjid ke dalam wujud aslinya.
Sebagai salah satu masjid tertua di Kota Padang, masjid Istighfar terbilang kuat. Ketika masjid-masjid lain mengalami kerusakan parah akibat gempa yang sering terjadi di Kota Padang, masjid tersebut cenderung aman. Meski sedikit banyak tetap ada kerusakan di beberapa tempat, tetapi tidak membuat masjid itu harus kehilangan keasliannya.
Pembangunan masjid menggunakan material batu-bata, pasir, semen, dan kayu-kayu keras yang sengaja didatangkan dari luar Padang. Begitu pun pembangunannya dikerjakan bergotong royong oleh masyarakat setempat.
Syekh Khatib, bersama sahabat-sahabat lamanya seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang (Suliki) dan lain-lain, pada tahun 1928 mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung. Organisasi inilah yang kelak ikut berperan mengantar Indonesia menuju kemerdekaan penuh dari penjajahan kolonial.
Untuk mengenang jasa ulama besar Syekh Khatib Muhammad Ali, warga Parak Gadang sejak beberapa tahun terakhir selalu mengadakan “Haul” atau mengadakan selamatan untuk Syekh Khatib Ali yang berpulang ke rahmatullah pada 10 Djumadil Awal 1355 H. Perjuangannya mengajarkan pendidikan Islam tetap melekat dalam diri masyarakat setempat.
Diterbitkan di Padang Ekspres Sabtu, 20 Agustus 2011
Oleh Heri Faisal
Sepintas tidak ada yang menarik dari masjid tua itu. Apalagi ditunjang dengan letaknya yang sama sekali tidak mencolok, karena berada di tengah-tengah rumah warga. Lokasi berdirinya tidak familiar seperti kebanyakan masjid modern di tepi jalan raya.
Masjid Istighfar di Parak Gadang yang kental dengan arsitektur Belanda menjadi basis perjuangan Syekh Khatib Muhammad Ali. (f/sy ridwan)
Selain sebuah kuburan tua, dan arsitektur masjid yang tidak mencirikan kekhasan bangunan Minangkabau, masjid ini tak memiliki banyak sisi untuk disebut luar biasa. Tapi cobalah sedikit digali lebih dalam, kuburan tua dan arsitektur berbeda itulah daya tarik masjid tersebut.
Masjid Istighfar yang berlokasi di jalan Parakgadang, Kelurahan Ganting Parakgadang, Kecamatan Padang Timur memang memiliki sejarah panjang. Terutama dengan kuburan tua itu. Di sana dimakamkan Maulana Syekh Khatib Muhammad Ali, pendiri masjid tersebut.
Menurut Ketua Pengurus masjid, H. Muslim Harun, Syekh Khatib mendirikan masjid tersebut sekitar tahun 1905 awal ia menetap di Padang setelah menuntut ilmu agama di Mekkah. Pada awalnya masjid hanya dibangun seadanya dalam bentuk sebuah surau di tepi sungai Batang Arau. Pembangunannya pun hanya menggunakan bahan-bahan kayu, sedikit material pasir dan bebatuan, dan atap rumbia.
Baru beberapa tahun setelahnya, atas bantuan tanah dari warga Parakgadang, maka dibangunlah masjid yang jauh lebih besar di daerah tersebut. Arsitektur bangunannya mengikuti pola Eropa dan dipadukan dengan kebudayaan nusantara, Melayu dan Minangkabau.
Di sana Syekh Khatib mengajar ilmu agama kepada murid-muridnya, hingga pada akhirnya banyak yang menyebar ke seluruh nusantara. Untuk menunjang kegiatan pendidikan keagamaan yang dilakukannya, pada tahun 1923 ia mendirikan Madrasah Irsyadiyah. Pelajarannya meliputi pelajaran tauhid, hadist, tasauf, dan lain-lain.
“Kekhasan bangunan masjid itu masih terus kami pertahankan, walaupun ada beberapa bagian yang sudah rusak dan diperbaiki,” katanya. Sampai saat ini, pengurus masjid dan masyarakat setempat masih mempertahankan bentuk masjid ke dalam wujud aslinya.
Sebagai salah satu masjid tertua di Kota Padang, masjid Istighfar terbilang kuat. Ketika masjid-masjid lain mengalami kerusakan parah akibat gempa yang sering terjadi di Kota Padang, masjid tersebut cenderung aman. Meski sedikit banyak tetap ada kerusakan di beberapa tempat, tetapi tidak membuat masjid itu harus kehilangan keasliannya.
Pembangunan masjid menggunakan material batu-bata, pasir, semen, dan kayu-kayu keras yang sengaja didatangkan dari luar Padang. Begitu pun pembangunannya dikerjakan bergotong royong oleh masyarakat setempat.
Syekh Khatib, bersama sahabat-sahabat lamanya seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang (Suliki) dan lain-lain, pada tahun 1928 mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung. Organisasi inilah yang kelak ikut berperan mengantar Indonesia menuju kemerdekaan penuh dari penjajahan kolonial.
Untuk mengenang jasa ulama besar Syekh Khatib Muhammad Ali, warga Parak Gadang sejak beberapa tahun terakhir selalu mengadakan “Haul” atau mengadakan selamatan untuk Syekh Khatib Ali yang berpulang ke rahmatullah pada 10 Djumadil Awal 1355 H. Perjuangannya mengajarkan pendidikan Islam tetap melekat dalam diri masyarakat setempat.
Diterbitkan di Padang Ekspres Sabtu, 20 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar