Sabtu, 17 Desember 2011

Tanamkan Percaya Diri, Dilatih Jadi Tukang Pijat

Oleh Heri Faisal & Haris Prima


Di mata Tuhan, semua manusia sama. Tidak ada satu pun yang membedakan kecuali ketakwaannya. Namun realitasnya, orang-orang cacat selalu terpinggirkan dalam kehidupan nyata.


Siswa panti Tuah Sakato diajarkan keahlian memijat. Kelak keahlian ini diharapkan mampu menopang masa depannya. (f/repro)

Diskriminasi itulah yang ingin diubah Kepala Seksi Pelayanan Keterampilan dan Kecakapan, Panti Sosial Bina Netra (PSBN) “Tuah Sakato” Dinas Sosial Sumbar, Artina. Baginya, setiap orang memiliki kesempatan dan kelebihan yang tidak dimiliki manusia lainnya. Tak terkecuali mereka yang cacat, sekalipun.

Sore itu, Minggu (4/12), Padang Ekspres mengunjungi PSBN yang dikelolanya di Jalan Wisma Bunda, Kalumbuk, Kuranji, Padang. Panti itu sepi hanya dua tiga wanita tampak santai di depan asrama. Ada yang menyisir rambut, menggunting kuku, dan memainkan telepon genggam.

Berjarak sekitar 20 meter ke arah gerbang, tiga wanita tengah menari diiringi lagu Indang. Walau gerakannya acap tak sama, mereka tak patah semangat mengikuti alunan musik.

“Mereka siswa binaan di sini,” kata Artina. Dia menyebut, di panti tersebut ada 50 anak berbagai usia dan daerah di Sumbar. “Semuanya tunanetra,” sebutnya.

Hari itu tak banyak aktivitas di panti tersebut. Siswa-siswi binaan sedang libur. Tak ada proses belajar mengajar. “Kalau mau datang saja besok pagi,” katanya, dengan ramah.

Artina sudah bekerja di panti tersebut sejak lima tahun lalu. Ketika lembaga tempatnya bekerja, Dinas Soasial memindahkannya ke situ.
 
Panti itu khusus dibangun untuk membina anak-anak tuna netra. Mulai dari yang buta sejak lahir, hingga yang mengalami kebutaan ketika beranjak dewasa. “Pembinaan di sini sebenarnya dua saja, pembinaan mental dan pembinaan keterampilan,” katanya.

Dia paham betul bahwa penderita cacat, cenderung rendah diri dalam pergaulan. “Bimbingan mental yang diberikan di sini, untuk memacu mereka agar tetap tegar,” ucapnya.

Setelah itu, baru diberi keterampilan sebagai bekal bagi mereka menjalani kehidupan. Di panti tersebut, setiap anak dibina selama tiga tahun. Tahun pertama mereka dimasukkan di kelas persiapan. Setelah lulus di kelas ini, baru kemudian masuk ke kelas dasar. Tahun terakhir, siswa dibina di kelas lanjutan sebelum diberi sertifikat untuk terjun ke masyarakat.

“Ada yang cepat. Biasanya di kelas persiapan ada yang hanya tiga bulan,” kata ibu tiga anak ini. Namun, tak jarang pula siswa menghabiskan waktu setahun lebih di kelas tersebut. Syarat untuk naik dari kelas percobaan ke kelas dasar, adalah harus mempu membaca dan menulis braile. Sebab, di kelas dasar hampir semua mata pelajaran harus ditulis. Baru kemudian praktik diperbanyak di kelas lanjutan.

Untuk keterampilan, panti Tuah Sakato lebih memfokuskan diri pada keterampilan pijat. Ada dua jenis pijat yang diajari, pijat massage dan pijat Shiatsu. Mereka mendatangkan guru dari luar, bahkan ada dari Pulau Jawa. “Tampaknya keterampilan ini yang paling cocok untuk anak-anak di sini.

Selain tidak terlalu sulit, keterampilan pijat menjanjikan rupiah. “Banyak alumni sini yang sudah sukses dengan panti pijatnya,” kata Artina.
 
Dia menyebut, satu panti pijat bisa melayani tamu hingga 30 orang sehari. “Kalikan saja, satu pasien Rp 30 ribu, sebulan bisa dapat berapa,” sebutnya.

Makanya, dia menyebut hampir semua lulusan panti tersebut terserap lapangan kerja. Ada ke Riau, Jambi, Kepri, hingga ke Jawa. “Keterampilan ini menjanjikan kalau ditekuni serius,” katanya.

Meski sudah mampu meringankan beban tunanetra, Artini menyebut masih banyak penyandang cacat lainnya yang belum tersentuh bantuan dan pembinaan. “Ini baru sebagian kecil. Kami harap pemerintah lebih peduli untuk membina mereka,” katanya.

Dia mencontohkan, fasilitas di pantinya masih sangat minim jika dibandingkan panti-panti tunanetra di Jakarta atau di Bandung. “Mereka sudah menggunakan komputer braile, kita masih alat tulis saja,” imbuhnya.

Hal itu disebabkan kurangnya dukungan pemerintah untuk membina penyandang disabilitas (cacat, pen). “Undang-undangnya sudah ada, tapi perda (peraturan daerah) tidak ada. Sehingga pembinaan ya sekadarnya saja,” ujarnya. Dia menyebut di beberapa provinsi di Jawa, penanganan dan pembinaan penyandang disabilitas diatur dalam perda.

Melalui momen Hari Penyandang Disabilitas Sedunia, Artina berharap pemerintah daerah dan semua kelangan menunjukkan kepeduliannya terhadap mereka yang memiliki keterbelakangan, baik fisik maupun mental. “Mereka saudara kita, jangan dianaktirikan,” katanya.

Diterbitkan di Padang Ekspres Senin, 5 Desember 2011

Tidak ada komentar: