Sekolah Agama PGAI Dr Abdullah Ahmad
Oleh Heri Faisal
“Target yang ingin kami capai, anak didik di sini (PGAI-red) tidak ada yang tidak pandai baca Al Quran. Untuk tingkatan MA dan SMA, harus bisa jadi imam shalat dan menjadi khatib shalat Jumat,” kata Yulius Said kepada Padang Ekspres Minggu (21/8).
Ya, begitulah upaya mereka untuk mengembalikan marwah sekolah tersebut agar kembali mampu mencetak mubaligh-mubaligh seperti cita-cita awal saat pendiriannya.
Sekolah PGAI di bawah Yayasan PGAI-Dr Abdullah Ahmad meliputi TK, SD, SMP, SMA, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Sekolah-sekolah tersebut memakai kurikulum dari Kementerian Pendidikan Nasional untuk TK, SD, SMP, dan SMA. Dan kurikulum Kementerian Agama untuk Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
“Kelas sore memakai kurikulum yayasan,” jelas Ketua Yayasan PGAI- Dr Abdullah Ahmad tersebut. Di tanah seluas lima hektare di kawasan Jati itu, juga berdiri sebuah panti asuhan PGAI yang menampung anak-anak yatim dan tidak mampu, atau yang berasal dari keluarga miskin. Mereka disekolahkan dengan gratis.
Untuk kelas sore, pelajaran mutlak menyangkut masalah agama. Mulai dari membaca Al Quran, sampai praktik ibadah. Guru pengajar didatangkan dari IAIN Imam Bonjol dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Pengembangan ilmu Al Quran yang juga berada di lokasi sekolah.
Dalam sejarahnya, PGAI didirikan oleh para ulama Sumatera Barat termasuk Dr Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek, dan ayah Buya Hamka pada tahun 1919 sebagai tempat diskusi dan bertukar pikiran para ulama.
Pada 1920, mereka mendirikan panti asuhan PGAI untuk menampung anak-anak yatim. Namun karena tidak ada sekolah untuk anak-anak tersebut, maka para ulama ini berinisiatif mendirikan sekolah agar anak yatim tetap bisa mengenyam pendidikan seperti anak-anak priyayi di masa itu. Pengajarnya adalah para ulama. Mereka menitikberatkan kurikulum pada pendidikan pengetahuan umum berbasis agama Islam.
Sepuluh tahun kemudian atau tepat 1930, Normal Islam School resmi berdiri menyaingi sekolah-sekolah umum yang banyak didirikan Belanda. Sekolah ini memfokuskan pada pelajaran agama Islam. Hingga melahirkan banyak mubaligh yang kemudian menyebar ke seluruh nusantara. Salah satu alumninya adalah Imam Zarkasih yang kemudian mendirikan Pesantren Gontor di Jawa Timur.
Di sekolah tersebut disiplin dilakukan secara ketat. Bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran pun disampaikan dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Sehingga pada masanya, PGAI mampu bersaing dengan sekolah-sekolah elit Belanda.
Melihat perkembangan PGAI yang demikian pesat, menimbulkan kecurigaan di pihak Belanda. Pemerintah kolonial akhirnya menutup sekolah PGAI beberapa saat sebelum Jepang masuk ke Indonesia. Lama vakum, sekolah ini akhirnya kembali dibuka setelah Indonesia merdeka. Namun karena menjamurnya sekolah-sekolah umum yang didirikan pemerintah, sekolah agama makin tak mendapat tempat.
Setelah lama mengikuti kurikulum dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, baru pada tahun lalu sekolah ini berbenah. Yayasan PGAI mengeluarkan kurikulum sendiri yang kembali pada cita-cita dasar pendirian sekolah tersebut.
“Kami kuatkan kembali nilai-nilai Islam yang menjadi dasar pendirian sekolah ini,” kata Yulius yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) wilayah Sumbar. Mereka juga mepertahankan keaslian sekolah dengan merenovasi bangunan tua, yakni bekas gedung Normal Islam School yang bercorak Eropa tetap pada bentuk aslinya.
Diterbitkan di Padang Ekspres Selasa, 23 Agustus 2011
Oleh Heri Faisal
Salah satu sekolah agama di Kota Padang yang tetap eksis sampai saat ini adalah milik Yayasan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Pendirinya adalah ulama Sumbar, termasuk Dr Abdullah Ahmad tahun 1919 silam.
Sekolah PGAI masih tetap mempertahankan pendidikan berkarakter Islam di tengah pengaruh pendidikan global (f/sy ridwan)
“Target yang ingin kami capai, anak didik di sini (PGAI-red) tidak ada yang tidak pandai baca Al Quran. Untuk tingkatan MA dan SMA, harus bisa jadi imam shalat dan menjadi khatib shalat Jumat,” kata Yulius Said kepada Padang Ekspres Minggu (21/8).
Ya, begitulah upaya mereka untuk mengembalikan marwah sekolah tersebut agar kembali mampu mencetak mubaligh-mubaligh seperti cita-cita awal saat pendiriannya.
Sekolah PGAI di bawah Yayasan PGAI-Dr Abdullah Ahmad meliputi TK, SD, SMP, SMA, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Sekolah-sekolah tersebut memakai kurikulum dari Kementerian Pendidikan Nasional untuk TK, SD, SMP, dan SMA. Dan kurikulum Kementerian Agama untuk Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
“Kelas sore memakai kurikulum yayasan,” jelas Ketua Yayasan PGAI- Dr Abdullah Ahmad tersebut. Di tanah seluas lima hektare di kawasan Jati itu, juga berdiri sebuah panti asuhan PGAI yang menampung anak-anak yatim dan tidak mampu, atau yang berasal dari keluarga miskin. Mereka disekolahkan dengan gratis.
Untuk kelas sore, pelajaran mutlak menyangkut masalah agama. Mulai dari membaca Al Quran, sampai praktik ibadah. Guru pengajar didatangkan dari IAIN Imam Bonjol dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Pengembangan ilmu Al Quran yang juga berada di lokasi sekolah.
Dalam sejarahnya, PGAI didirikan oleh para ulama Sumatera Barat termasuk Dr Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek, dan ayah Buya Hamka pada tahun 1919 sebagai tempat diskusi dan bertukar pikiran para ulama.
Pada 1920, mereka mendirikan panti asuhan PGAI untuk menampung anak-anak yatim. Namun karena tidak ada sekolah untuk anak-anak tersebut, maka para ulama ini berinisiatif mendirikan sekolah agar anak yatim tetap bisa mengenyam pendidikan seperti anak-anak priyayi di masa itu. Pengajarnya adalah para ulama. Mereka menitikberatkan kurikulum pada pendidikan pengetahuan umum berbasis agama Islam.
Sepuluh tahun kemudian atau tepat 1930, Normal Islam School resmi berdiri menyaingi sekolah-sekolah umum yang banyak didirikan Belanda. Sekolah ini memfokuskan pada pelajaran agama Islam. Hingga melahirkan banyak mubaligh yang kemudian menyebar ke seluruh nusantara. Salah satu alumninya adalah Imam Zarkasih yang kemudian mendirikan Pesantren Gontor di Jawa Timur.
Di sekolah tersebut disiplin dilakukan secara ketat. Bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran pun disampaikan dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Sehingga pada masanya, PGAI mampu bersaing dengan sekolah-sekolah elit Belanda.
Melihat perkembangan PGAI yang demikian pesat, menimbulkan kecurigaan di pihak Belanda. Pemerintah kolonial akhirnya menutup sekolah PGAI beberapa saat sebelum Jepang masuk ke Indonesia. Lama vakum, sekolah ini akhirnya kembali dibuka setelah Indonesia merdeka. Namun karena menjamurnya sekolah-sekolah umum yang didirikan pemerintah, sekolah agama makin tak mendapat tempat.
Setelah lama mengikuti kurikulum dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, baru pada tahun lalu sekolah ini berbenah. Yayasan PGAI mengeluarkan kurikulum sendiri yang kembali pada cita-cita dasar pendirian sekolah tersebut.
“Kami kuatkan kembali nilai-nilai Islam yang menjadi dasar pendirian sekolah ini,” kata Yulius yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) wilayah Sumbar. Mereka juga mepertahankan keaslian sekolah dengan merenovasi bangunan tua, yakni bekas gedung Normal Islam School yang bercorak Eropa tetap pada bentuk aslinya.
Diterbitkan di Padang Ekspres Selasa, 23 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar