Minggu, 18 Desember 2011

Merasakan Tarawih Seperti di Mekkah

Oleh Heri Faisal


Jika anda ingin merasakan shalat Tarawih di bulan Ramadhan ini layaknya shalat di kota Mekkah, maka datanglah ke Masjid Muhammadan, Jalan Pasar Batipuh, Kelurahan Pasar Gadang, Kecamatan Padang Selatan, atau lebih dikenal dengan sebutan Kampung Keling, kota tua Padang.

Shalat tarawih 23 rakaat dengan bacaan ayat satu juz semalam seperti di Mekkah dapat dirasakan di Masjid Muhammadan, Kota tua Padang. (f/sy ridwan)

Bukan berarti di sini ada pula Kabbah seperti di Masjidil Haram, Mekkah. Yang anda dapatkan adalah suasana shalat Tarawih yang lumayan lama dan panjang. Pasalnya, masjid ini menggunakan hitungan 23 rakaat untuk shalat Tarawih termasuk shalat Witir tiga rakaat.

Yang lebih penting, bacaan ayat shalat sebanyak satu juz semalam. Sehingga selama bulan Ramadhan, bacaan 30 juz ayat Al Quran bisa ditamatkan. “Imamnya kami minta yang hafal Al Quran. Untuk waktu shalat memang agak lumayan lama, sekitar dua jam untuk shalatnya saja,” kata P. Shahib Khalid, pengurus masjid tersebut.

Meski shalat memakan waktu lama, dia mengaku tidak kehilangan jamaah. Justru sebaliknya, jamaah dari daerah lain ikut shalat Tarawih di masjid itu. “Kebanyakan jamaahnya memang mereka yang sudah tua, tapi tidak ada yang mengeluh,” kata Shahib ketika ditemui Padang Ekspres kemarin (15/8).

Kebiasaan itu sebutnya, rutin mereka lakukan sejak 10 tahun terakhir. Bahkan di zaman nenek moyang mereka dahulu kebiasaan Tarawih seperti itu juga sudah acap kali dilakukan.

Masjid Muhammadan berdiri pada tahun 1843, dibangun oleh saudagar-saudagar asal India-Arab yang berdagang di Muaro Padang hingga menetap di kawasan tersebut. Makanya jangan heran ketika melihat arsitektur bangunan masjid itu yang sangat berbeda jauh dengan masjid kebanyakan di Kota Padang. Arsitekturnya bergaya India, tepatnya arsitektur Nagor di kawasan India bagian selatan. Sebab, para pendiri masjid tersebut mayoritas adalah pedagang India asal Nagor.

Pembangunannya juga tidak menggunakan bahan dari semen, melainkan menggunkan bahan dari kapur, pasir, dan gula. Baru kemudian pada proses rehabnya sejak sekitar awal 1900 menggunakan bahan semen, namun tetap tidak mengubah bentuk aslinya.

“Ketika gempa kemarin (September 2009, red) salah satu menara yang ada di depan ikut roboh di bagian atasnya sepanjang satu meter,” sebutnya. Namun berkat bantuan salah satu stasiun televisi swasta, menara tersebut bisa dikembalikan ke bentuk semula. Begitu pula dengan perbaikan di bagian belakang dan lantai bangunan yang rusak parah, sudah diselesaikan sejak April lalu.

Dari luar, masjid dengan corak dominan hijau itu, tampak kecil dan biasa saja. Posisi berdirinya berjejer rapi mengikuti rangkaian toko-toko tua di sepanjang jalan itu. Tetapi cobalah masuk ke dalam, anda akan menemukan masjid itu memiliki tiga lantai. Lantai dasar untuk tempat shalat, lantai dua untuk tempat istirahat, dan lantai tiga digunakan untuk tempat memasak dan istirahat.

Masjid dengan ukuran lebar 15 meter dan panjang 25 meter itu, sejak 1998 sudah tercatat sebagai salah satu cagar buyada Sumatera Barat. Masjid tersebut menjadi bukti hubungan baik masyarakat Minangkabau dengan saudagar pendatang terutama asal India dan Thionghoa. Sebab, saat ini di kawasan itu, kata Shahib, tidak ada warga mayoritas yang dulu disebut Kampung Keling.

Mereka sudah membaur antara keturunan India, Thionghoa, Arab, dan Minangkabau sendiri. “Kampung Keling itu dulu, karena yang tinggal di sana adalah orang-orang keturunan India yang kulitnya gelap. Nenek-nenek kita dulu menyebutnya orang Keling. Tapi sekarang jumlahnya tidak banyak, apalagi setelah gempa banyak yang pindah,” kata Shahib, salah seorang keturunan India di kawasan tersebut.

Diterbitkan di Padang Ekspres Selasa, 16 Agustus 2011

Tidak ada komentar: