Sabtu, 17 Desember 2011

Butuh Rp 20 Juta untuk BAB

Oleh Heri Faisal


Akibat tumor usus yang diidapnya, Agusril, 47, harus menjalani kolostomi atau pemindahan saluran pencernaan untuk buang air besar (BAB), Juni lalu. Setelah tumor diangkat, kini dia harus dioperasi kembali untuk mengembalikan saluran pembuangannya ke tempat semula. Sayang, biaya Rp 20 juta tak sanggup ditanggungnya.

Agusril (47), penderita tumor usus, butuh sekitar Rp 20 juta untuk operasi pengembalian saluran pembuangan. (f/sy ridwan)

Sejak perutnya membesar pada awal tahun lalu, Agusril, warga Koto Marapak, Padang Barat, kian resah. Dia takut jika sampai harus dibawa ke rumah sakit. Pasalnya, lelaki kurus ini tak memiliki sedikit pun tabungan untuk menebus biaya rumah sakit.

Dugaannya benar. Perutnya yang terus membesar menimbulkan rasa sakit tak terkira. Mau tidak mau dia harus dirujuk ke rumah sakit. “Mulanya dia mengaku tidak bisa buang air besar. Lama-lama perutnya terus membesar, kami sarankan saja untuk periksa,” kata Amrizal, tetangga juga teman sepermainannya, ketika berkunjung ke redaksi Padang Ekspres, kemarin.

Dari situlah, Agusril disarankan memeriksa kesehatannya ke rumah sakit. Lantaran tidak punya biaya, saran itu urung dilaksanakan.

Akibatnya, penyakit pria sebatang kara itu terus bertambah parah. Selain perut membesar, rasa nyeri di mana-mana, bernapas pun jadi susah. Tetangga dan keluarganya dari Pesisir Selatan pun berinisiatif mengantarnya ke RSUP Dr M Djamil.

Dari sanalah diketahui, dia mengidap tumor usus. “Mau tidak mau harus dioperasi. Kami kumpulkan uang membantu biaya operasi itu,” kata Amrizal.

Dia menyebut keluarga Agus juga hidup pas-pasan, sehingga tidak mampu membiayai operasi dan perawatannya di rumah sakit.

Agusril, anak kedua dari empat bersaudara. Pria asal Pilubang, Sungailimau, Padangpariaman, itu tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia tinggal sendiri di rumahnya di Jalan M Syarif No 11 A, Kotomarapak. “Kamilah yang sering bantu, karena selain tetangga juga sudah berteman lama,” tutur Amrizal.

Sudah hampir setahun Agusril berhenti bekerja akibat penyakit dideritanya. Apalagi, usianya yang kian menua, membuat fisiknya semakin lemah. Sulit diterima kerja di mana saja.

Amrizal menyebut pola makan temannya memang tidak pernah dikontrol. “Dia kan kerjanya pindah-pindah. Dari tukang angkat, hingga kerja di terminal, kan berat. Ya biasa makan di mana-mana,” katanya.

Pola makan yang tidak sehat itulah  memicu penyakit Agus. Meski dipengaruhi oleh pola makan dan gizi, dokter ahli bedah di RS Dr M Djamil, Yusirwan Yusuf mengatakan, tumor yang diderita Agus, bawaan sejak lahir. “Ini semacam kesalahan kode sel,” katanya.

Ada miliaran sel yang akan membentuk organ-organ tubuh dalam kandungan perutnya. Salah satu dari sel tersebut bisa saja tidak optimal, sehingga menimbulkan tumor bawaan. Karena pola makan dan asupan gizi yang tidak terjaga dengan baik, tumor itu tumbuh, hidup dan berkembang di dalam tubuh.

“Sama sekali tidak berhubungan dengan keturunan,” kata Yusirwan. Untuk pencegahan dini, Yusirwan menyarankan segera periksakan ke dokter seandainya menemukan kebengkakan di tubuh. “Jangan ke tukang urut, bisa jadi itu tumor,” jelasnya.

Juni lalu, Agusril pun dikolostomi, atau dilakukan pembedahan di bagian perut untuk membuat saluran pembuangan BAB. “Sejak operasi sudah agak baikan,” kata Agusril.

Namun, ke mana-mana, dia harus menggendong plastik di bagian perut kanannya, sebagai tempat pembuangan kotoran.

Kini, tim dokter meminta secepat mungkin dirinya kembali dioperasi untuk mengembalikan saluran pengeluarannya ke anus. “Dokter minta bulan ini, anggarannya Rp 20 juta, tapi tidak tahu uangnya dari mana,” imbuhnya lirih.

Dia pun tidak memegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) maupun jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Hanya surat keterangan miskin dari kelurahan yang manjamin dia tak mampu. Agusril kini mengharapkan betul uluran tangan dermawan mengurangi beban penyakitnya.

Agusril tidak sendiri. Masih banyak orang-orang miskin di kota ini yang menanggung derita karena tak ada biaya berobat. Anehnya, tidak sedikit pula kaum dhuafa justru tidak memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda.

Padahal, hampir setiap daerah di Sumbar, data penerima Jamkesmas dan Jamkesda jauh lebih banyak daripada data keluarga miskin versi Badan Pusat Statistik. Lantas, ke mana saja Jamkesmas dan Jamkesda diberikan?
Diterbitkan di Padang Ekspres Jumat, 25 November 2011

Tidak ada komentar: