Oleh Heri Faisal
Dewasa ini, gelombang pemakaian televisi makin marak di kalangan masyarakat. Televisi bukan lagi kebutuhan tertier (tambahan) melainkan sudah menjadi kebutuhan primer (pokok) yang mau tidak mau harus ada. Hampir di tiap rumah dapat dijumpai baik di desa maupun di kota televisi bukanlah barang baru lagi. Memang positif, karena manusia butuh informasi, dan kemajuan teknologi mesti harus diikuti. Tapi sudahkah informasi yang kita peroleh bermanfaat untuk kita, anak kita, ataupun generasi kita?
Seorang anak menonton tayangan yang tak sesuai dengan usianya. Perlu pengkajian ulang program TV (repro)
Menjadi tugas menarik buat kita mencermati dan memfilterisasi tayangan televisi yang awalnya hanya sebagai media informasi untuk bisa dinikmati menjadi tontonan yang bermanfaat, mendidik, dan menarik. Karena sejalan dengan perkembangan waktu, televisi sudah menjadi ladang bisnis tanpa menghiraukan dampaknya bagi masyarakat. Christovita Wiloto, dalam bukunya The Power of Public Relations menulis, pemilik dan pengelola bisnis televisi hingga kini memang masih amat mendewakan rating sebagai indikator sukses tidaknya sebuah program. Hal ini terjadi karena pemasang iklan berpatokan pada rating yang menuntun kemana anggaran iklannya diarahkan. Nah, yang terjadi di lapangan justru tayangan-tayangan yang tidak mendidik seperti sinetron dan infotainmenlah yang mendapat rating tertinggi. Sehingga pengelola pun tidak perlu memikirkan dampak programnya. Bagi mereka yang penting laku, dinikmati penonton dan menguntungkan kantong pribadi.
Bagi masyarakat kita yang masih awam dengan hal-hal semacam itu, tentulah dengan senang hati menerima saja suguhan sinetron dan tayangan lainnya tanpa tahu apa dampaknya. Memang bagi orang dewasa tidak terlalu berpengaruh, tetapi lain halnya dengan anak-anak yang hampir setengah harinya dihabiskan di depan televisi. Apa yang ada dan ditampilkan di layar kaca akan membekas dan tertanam di hati mereka.
Survei yang dilakukan Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington terhadap anak usia 2 – 17 tahun menunjukkan, 56 % tayangan televisi sangat mempengaruhi pola pikir anak-anak. Selebihnya 26 % berpengaruh, 5 % cukup berpengaruh, dan 11 % tidak berpengaruh. Dari penelitian Centerwall tersebut bisa kita simpulkan bahwa anak-anak amat rentan terhadap pengaruh tayangan televisi. Mereka adalah korban pertama yang akan terus dipengeruhi pola pikirnya oleh tontonan yang sedikitpun tidak memberikan ilmu tersebut. Seperti perilaku kekerasan yang marak terjadi di negeri ini, sedikit banyak merupakan dampak dari tayangan televisi. Televisi memang tidak langsung berdampak pada orang dewasa pelaku kekerasan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit sudah tertanam sejak mereka kecil. Ada tiga tahapan kekerasan yang terekam dalam penelitian. Pertama kekerasan meningkat di kalangan anak-anak. Beberapa tahun kemudian meningkat di kalangan remaja dan akhirnya mencapai puncaknya di kalangan orang dewasa yang menunjukkan klimaks kehancuran moral.
Perlu keseriusan pemerintah dan partisipasi aktif dari masyarakat untuk menghentikan pengaruh buruk tayangan-tayangan televisi. Jangan sampai generasi-generasi kita nanti, hanyalah penerus yang dimotori oleh pola pikir kerdil dari tayangan televisi. Mereka haruslah generasi bersih, kreatif dan inovatif tanpa terkontaminasi budaya bodoh membodohi.
Bukan bermaksud menggurui, sebaiknya perlu dicoba alternatif-alternatif berikut untuk mengurangi dampak televisi terhadap anak-anak dan remaja yang jika tidak ditanggulangi akan mengakar dalam diri anak-anak dan berujung pada rusaknya moral generasi. Pertama, pengawasan dimulai dari rumah. Orangtua harus memiliki kemampuan membatasi jam menonton anak-anak dan memberikan pengawasan yang ketat terhadap tontonan anak. Sedapat mungkin carikan alternatif agar anak jauh dari televisi , tetapi tidak dengan cara paksaan. Alihkan perhatian mereka pada kegiatan lain seperti membaca, atau kegiatan-kegiatan yang bermanfaat lainnya.
Kedua, pengawasan pemerintah. Ada baiknya pemerintah membuat undang-undang mengenai tayangan televisi atau dengan membentuk tim yang bertugas mengawasi program-program yang ditayangkan televisi. Kemudian memberi kewenangan kepada tim tersebut untuk mengeksekusi jika terjadi pelanggaran. Karena selama ini kita sudah punya tim pengawas penyiaran tetapi belum mempunyai hak untuk menjatuhkan ponis. Sehingga kinerjanya tidak tampak.
Terakhir perlu kesadaran dalam diri pemilik dan pengelola bisnis TV. Bahwa setiap program yang mereka buat haruslah berpijak pada pemikiran untuk membangun bangsa bukan sekedar mencari untung belaka. Perlu dipikirkan bagaimana menayangkan program yang pasti mendidik namun tetap menghibur. Karena orientasi pertelevisian adalah memberikan informasi dan hiburan. Memang tidak mudah karena untuk mewujudkannya butuh waktu dan tenaga. Justru disitulah kita dituntut untuk ikut serta membangun negeri, memperbaiki moral generasi.
Diterbitkan di Harian Singgalang, September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar