Jumat, 04 Juni 2010

Melahirkan Generasi Pembaca

Oleh Heri Faisal

             “Cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada)”. Jika ditelusuri lebih jauh, kalimat Rene Descartes ini mengandung banyak pengertian. Tetapi satu saja intinya, orang yang berpikirlah yang mengerti kualitas kehidupan. Berpikirnya dengan apa ? Tentu dengan mempelajari banyak hal. Salah satunya dengan membaca.
             Belajar dengan membaca jauh lebih efektif daripada belajar mendengar secara lisan saja. Charles W. Elliot, tokoh pendidikan Amerika Serikat yang hidup tahun 1834-1926 mengatakan bahwa teman yang paling setia, tidak cerewet, gampang ditemui, sekaligus guru nan bijak dan sabar, adalah buku. Ditambahkan pula oleh Prof. Dr. Hasanuddin WS, guru besar ilmu sastra Universitas Negeri Padang bahwa, “buku tidak pernah mengeluh, buku tidak pernah menuntut, tetapi buku memberikan segala yang kita minta. Maka sahabat yang baik itu adalah buku”. Begitu berharganya sebuah buku dari pandangan orang-orang besar tersebut.

 Anak-anak serius membaca (repro)


             Sejarah peradaban manusia sebenarnya juga dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama. Tepatnya dalam (Q.S. Al-Alaq: 1-5), iqra (bacalah) memiliki makna yang sangat luas untuk digali. Kita dituntut mempelajari ilmu-ilmu Allah melalui pendidikan membaca. Allah merestui pula bahwa pelajaran pertama dan yang penting itu adalah membaca yang disampaikan melalui wahyunya kepada Rasulullah.
             Dalam pendidikan formal pun, membaca adalah keterampilan pertama yang diberikan oleh guru kepada peserta didiknya. Membaca dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) memiliki arti melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati), mengeja atau melafalkan apa yang tertulis, mengucapkan, mengetahui, meramalkan, memperhitungkan, dan memahami. Dari pengertian membaca tersebut ada empat hal yang harus digaris bawahi sebagai pemahaman bagi kita. Yakni, pemahaman tentang huruf, pemahaman tentang angka, pemahaman tentang gambar atau kode, dan pemahaman bahasa. Keempat hal inilah yang menjadi bahan utama dalam membaca.
             Membaca dapat juga digambarkan sebagai upaya untuk mengetahui, memahami, menduga kejadian masa lalu, dan mempelajari kemungkinan yang terjadi dimasa depan. Sejarah atau kejadian masa lalu diketahui dengan membaca literatur-literatur sejarah, lalu disimpulkan untuk dipahami dengan cermat. Kita mengetahui sejarah penemuan benua Amerika oleh Christoper Columbus dari membaca. Kita tahu kisah pembunuhan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln juga dari membaca. Kita tahu kisah Baratayudha juga dari membaca. Kita membuat perencanaan masa depan juga dengan mempelajari dan membaca referensi terkini sebagai pedoman.
             Mau tidak mau seorang manusia butuh membaca untuk mendapatkan informasi dilingkungannya. Pesan lisan saja tidak cukup. Butuh pengakuan secara tersurat. Dulu, orang mencari kerja tinggal datang minta pekerjaan. Sekarang, sepintar apapun orang, tanpa ijazah tak akan pernah bisa diakui. Karena saat ini kebudayaan masyarakat modern menuntut kita untuk mandiri. Budaya baca menjadi alat ampuh untuk menumbuhkan kemandirian tersebut.
             Di Indonesia sendiri, budaya baca masih jauh dari peradaban kita. Anak-anak kita lebih suka nongkrong di pusat-pusat keramaian daripada berkunjung ke perpustakaan atau ke toko-toko buku. Padahal sejak tahun 1995, pemerintah sudah menetapkan bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan 14 September sebagai Hari Berkunjung ke Perpustakaan. Kepala Perpustakaan Nasional, Dady P. Rachmanata mengasumsikan bahwa tingkat membaca masyarakat Indonesia baru sekitar 10 sampai dengan 20 persen. Padahal di negara maju angkanya mencapai 80 persen. Angka itu diambil dari kunjungan masyarakat ke perpustakaan, baik perpustakaan nasional maupun perpustakaan daerah.
             Bedasarkan laporan Bank Dunia dan studi International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) di Asia Timur tahun 2000, kebiasaan membaca anak Indonesia berada di peringkat terendah dengan skor 5,17. Posisi Indonesia berada di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5), (“PR”, 16/7).
Diperlukan perpustakaan yang nyaman dan kondusif untuk menumbuhkan minat baca masyarakat (repro)           

              Demikian juga halnya dengan kebiasaan membaca masyarakat umum yang tergolong masih rendah. Salah satu indikator adalah minimnya konsumsi bacaan masyarakat. Contohnya surat kabar dan majalah. Idealnya mengikuti tren negara maju, satu surat kabar dibaca oleh sepuluh orang. Tetapi di Indonesia angkanya 1:45, artinya satu surat kabar dibaca oleh 45 orang. Di Filipina angka perbandingan konsumsi bacaan masyarakat ini jauh lebih mengerucut yakni 1:30, dan di Sri Lanka angkanya 1:38 masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Indonesia.
             United Nations Development Programme (UNDP) dalam salah satu publikasinya menyatakan Human Development Index (HDI) 2003, Indonesia ditempatkan pada peringkat 112 dari 174 negara dalam hal kualitas bangsa. Dalam daftar yang dirilis UNDP tersebut Indonesia masih berada jauh dibawah Vietnam (109), Thailand (74), Malaysia (58), dan Brunei Darussalam (31). Angka ini juga dijadikan indikator untuk mengukur kualitas bangsa. Semakin tinggi peringkat HDI suatu negara, semakin baguslah kualitas negara tersebut. Artinya, saat ini kualitas bangsa Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. (Wahyudiati, 2009).
             Melihat angka-angka di atas, timbul perasaan miris dan khawatir terhadap perkembangan Indonesia mendatang. Apalagi di era globalisasi nanti, budaya baca mutlak dimiliki oleh setiap individu agar kelak tidak dibodohi oleh bangsa lain. Kenyataan di lapangan menunjukkan kalau membaca belumlah budaya kita.
Kondisi ini berbeda jauh dengan kebiasaan masyarakat di negara-negara maju. Di Jepang misalnya, sejak hancur lebur dalam Perang Dunia II, Jepang berbenah diri dengan menghidupkan budaya membaca dalam keseharian masyarakatnya. Bahkan masyarakat Jepang diwajibkan memiliki bahan-bahan bacaan baik di bidang sains, sastra, maupun bidang-bidang lainnya. Pemerintah pun mendukung dengan menerbitkan banyak buku baru setiap tahunnya. Hingga dalam waktu yang relatif singkat, Jepang bisa disejajarkan dengan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman dalam berbagai hal.
             Kebiasaan serupa jualah yang melekat dalam diri masyarakat Eropa. Tidak ada waktu luang yang terlewatkan begitu saja. Kesempatan langka di setiap detik itu dimanfaatkan untuk membaca. Apakah itu di mobil, di stasiun, atau dimana saja. Bahkan seorang warga Inggris, Lord Thomas Bobington mampu membaca sambil berjalan cepat, berkelok-kelok, dan bisa menghindari tabrakan dengan orang lain atau kendaraan yang berada di depannya dengan tetap membaca. Bobington mengalahkan rekan senegaranya, Thomas Heame, yang memiliki kegemaran sama, namun pernah tersesat karena terlalu asyik membaca saat jalan-jalan sore hingga tidak memperhatikan jalur yang dilewati.
             Tampubolon (1993) mengatakan, masyarakat Indonesia pada umumnya masih berada dalam proses transisi dari budaya lisan ke budaya tulisan. Kebiasaan membaca dan menulis belumlah menjadi budaya dalam lingkungan masyarakat. Kecenderungan mendapatkan informasi secara lisan atau melalui percakapan masih lebih kuat daripada melalui bacaan. Tradisi ini masih terus bertahan secara turun temurun, hingga sulit untuk dipatahkan. Rendahnya tingkat pendidikan adalah alasan utama mengapa pola pikir masyarakat tetap seperti itu. Di sekolah dan perguruan tinggi pun, kebiasaan yang sama tetap belum bisa dihilangkan. Pelajar dan mahasiswa relatif tidak memiliki minat yang tinggi terhadap kebiasaan membaca. Prilaku ini terkait dengan minimnya budaya baca di rumah atau di lingkungan keluarga.
             Untuk menumbuhkan minat baca dan menghidupkan budaya baca dalam keseharian masyarakat memang dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Tetapi bukan tidak mungkin kebiasaan itu bisa ditumbuhkan dengan cepat. Tergantung seberapa serius kita menggarap program ini. Ada beberapa unsur penting yang perlu menjadi perhatian utama kita dalam menumbuhkan minat dan budaya baca.
             Pertama, peran orang tua. Kebiasaan membaca harus ditumbuhkan sejak dini dalam setiap individu. Keluarga adalah komunitas pertama yang sejatinya menciptakan budaya yang demikian. Sekolah saja tidak cukup. Prilaku anak justru seringkali mengikuti kebiasaan orang tuanya. Jika orang tua memiliki kebiasaan membaca yang baik, ada kemungkinan anaknya justru memiliki fhobia yang lebih tinggi terhadap bacaan. Bahkan mungkin melebihi orang tuanya. Bayangkan pula jika orang tua tidak suka membaca sama sekali. Warisan kebiasaan dan prilaku seperti apa pula nanti yang akan ia wariskan dan contohkan kepada anaknya.
             Kalaupun orang tua tidak memiliki kebiasaan membaca, minimal memberi dukungan kepada anak untuk menumbuhkan budaya tersebut. Contoh kecilnya adalah dengan memberikan fasilitas membaca di rumah, berupa ketersedian bahan bacaan dan suasana yang tenang. Bisa juga dengan menanyakan buku-buku yang sudah dibaca anak untuk menunjukkan kepedulian kita. Tanpa disadari, hal yang demikian akan menambah motivasi anak untuk membaca.
             Kedua, peran guru dan pengelola perpustakaan. Di sekolah, guru adalah ujung tombak untuk menciptakan budaya baca dalam diri siswa. Banyak hal bisa dicoba dan diterapkan untuk menumbuhkan budaya tersebut. Seperti halnya mengajak peserta didik untuk membaca dan menelaah buku-buku yang menarik di perpustakaan. Atau dengan memberikan tugas yang sumbernya harus dicari di perpustakaan. Guru dan petugas perpustakaan sebaiknya juga mengajarkan peserta didik bagaimana menggunakan perpustakaan, mengenal, mencari, mengumpulkan, mengorganisasikan informasi, dan menyajikan presentasi yang dibutuhkan.
             Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) menjelaskan bahwa perpustakaan merupakan sumber daya pendidikan yang penting dalam upaya meningkatkan kualitas Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar dan Menengah. Jadi peran perpustakaan di sini sangat strategis sekali untuk menunjang pertumbuhan minat baca siswa dan masyarakat.
Pelayanan, program, dan koleksi perpustakaan menjadi penting untuk menguatkan Propenas di atas. Layanan perpustakaan terutama di sekolah-sekolah tidak bisa hanya buka pada jam-jam istirahat saja. Perpustakaan harus buka ekstra, misalnya di jam-jam pulang sekolah, karena kebanyakan siswa baru memiliki waktu yang longgar pada jam-jam tersebut. Desain perpustakaan seyogyanya juga dibuat senyaman mungkin bagi pengunjungya. Selain itu petugas perpustakaan bisa membuat program pemilihan pengunjung perpustakaan teraktif. Bisa dalam rentang waktu perbulan, persemester, atau sebagainya. Intinya hal demikian dimaksudkan untuk menarik pengunjung datang ke perpustakaan.
             Koleksi perpustakaan menjadi sangat penting, karena sering kali siswa atau pengunjung datang mencari koleksi yang tidak monoton. Dan kelengkapan sumber bahan juga tidak bisa diabaikan. Perpustakaan bisa mengoleksi karya-karya terbaru dan menjadi idola para remaja seperti novel Harry Potter, Lord of The Rings, Twilight, dan bahkan komik. Koleksi ini juga harus disesuaikan dengan tingkat pembacanya. Seperti Taman Kanak-kanak misalnya, koleksi buku haruslah yang bersifat ketertarikan saja. Seperti buku dengan memiliki banyak gambar-gambar menarik. Untuk anak SD dipilihkan bahan bacaan yang ringan-ringan saja untuk menumbuhkan minat membaca. Anak-anak SLTP tidak lagi membaca sekedar hanya ketertarikan saja, tetapi diarahkan membaca untuk menambah pengetahuan. Sedangkan siswa SLTA, isi bacaannya lebih pada mengasah penalaran secara intelektual. Arahan mahasiswa dan masyarakat umum lebih kepada analisis dan mengasah kekritisan. Koleksi dan penempatan secara berjenjang seperti ini akan menarik minat pengunjung untuk mendatangi perpustakaan.
             Ketiga adalah peran pemerintah. Melalui Departemen Pendidikan Nasional, pemerintah sudah merancang kurikulum-kurikulum terstruktur dalam pendidikan yang berorientasi untuk menumbuhkan minat dan budaya baca dalam masyarakat juga. Tetapi peran pemerintah ini dirasakan masih formalitas dan tidak maksimal. Pemerintah belum memiliki satu persepsi menyeluruh tentang format pendidikan yang baku di setiap daerah di Indonesia. Sehingga pemerintah dinilai plin-plan dalam memajukan dan menyamaratakan pendidikan secara nasional.
              Buku merupakan sumber utama untuk menumbuhkan minat dan budaya baca. Dari laporan IKAPI tahun 2003, di Indonesia diproduksi 4.000 judul buku baru. Sementara di tahun yang sama, Malaysia mampu memproduksi 10.000 judul buku baru. Sementara Jepang, memproduksi 44.000 judul buku baru, Inggris 61.000 judul, dan Amerika Serikat memproduksi 65.000 judul buku baru. (Ganto Edisi No.144/Tahun XVIII/April-Mei 2008).
              Dari sana dapat dilihat bahwa dengan jumlah penduduk yang sangat besar Indonesia tidak mampu menghasilkan banyak buku. Bahkan tidak ada setengah dari produksi buku Malaysia yang penduduknya tidak sampai setengah dari penduduk Indonesia. Itu artinya, budaya membaca tadi yang sangat minim hingga berimbas pada minimnya karya yang berbentuk tulisan.
              Pemerintah harus berperan lebih di sini. Bagaimana menghasilkan banyak judul buku baru yang bisa dinikmati siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum sebagai sumber ilmu dan bacaan. Selama ini pemerintah tidak berkontribusi besar untuk menerbitkan buku yang ditulis oleh pelajar dan mahasiswa. Buku-buku yang difasilitasi oleh pemerintah hanyalah buku-buku ajar yang ditulis oleh parak, dosen, dan guru. Padahal sebenarnya jika karya-karya pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum baik berupa novel, kumpulan cerpen, dan sebagainya diterbitkan oleh pemerintah, itu justru akan memotivasi lebih banyak lagi masyarakat untuk terus membaca dan berkarya.
             Kalau ketiga elemen ini bekerja dengan baik, serta didukung unit-unit lainnya secara maksimal. Rasanya menumbuhkan minat dan budaya baca bukanlah menjadi perkara yang sulit. Tetapi itu tadi, keseriusan dan kesadaran kita bersamalah yang menjadi kunci terciptanya masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang berkualitas.

1 komentar:

Diana Besni mengatakan...

mantap bi...,,dima maling fotonyo tu..