Jumat, 04 Juni 2010

Membangun Kekuatan Ekonomi "Chindonesia"

Oleh Heri Faisal

             Saya tertarik dengan istilah yang ditulis A. Prasetyantoko, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPMP) Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta di harian Kompas beberapa waktu lalu. Ia menulis istilah “Chindonesia” untuk menyebut tiga negara yang diprediksi mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun ke depan, yakni China, India, dan Indonesia. Istilah yang benar benar enak diucapkan, apalagi kalau memang sampai menjadi kenyataan.

 Tambang Batu Bara salah satu pendongkrak ekonomi nasional, ditingkatkan produksinya untuk keperluan ekspor (repro).


             Masuknya nama Indonesia dalam jajaran elit negara-nagara yang dianggap akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini tentu mengejutkan banyak kalangan, terutama mungkin kita masyarakat Indonesia sendiri yang merasakan betul bagaimana kondisi perekonomian bangsa saat ini. Pasti ada rasa bangga sekaligus kaget yang luar biasa terhadap opini itu. Bangga karena secara tidak langsung nama Indonesia, negara yang kita cintai ini akan diperbincangkan di dunia internasional. Pandangan ini tentu juga berdampak positif pada pencitraan Indonesia ke depan. Persepsi masyarakat mancanegara terhadap Indonesia yang dianggap miskin dan primitif dengan sendirinya akan berubah. Dan Indonesia akan menjadi negara yang diperhitungkan serta tidak dianggap sebelah mata lagi.
             Kaget karena walau bagaimana pun saya yakin mayoritas masyarakat Indonesia tentu bisa melihat dengan jernih seperti apa kondisi perekonomian kita sekarang. Harga kebutuhan pokok yang semakin hari terus melambung. Pemberhentian kerja dan pengangguran yang semakin tumpah ruah. Kepastian hukum yang masih mengalami tarik ulur. Hingga kebijakan pemerintah yang tak jelas kemana muaranya. Itu hanya sekelumit kisah nyata yang mematahkan analisa kepantasan Indonesia bersanding dengan China dan India di kelompok elit pendobrak kejayaan ekonomi Amerika yang kian melemah.
             Tetapi A. Prasetyantoko tentu tidak asal dalam membuat istilah di atas. Ia berpijak dari laporan Morgan Stanley dari CLSA (2009) yang menyebutkan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi negara besar bersama China dan India jika mampu mengenjot ekspor sumber daya alam secara maksimal. Stanley memfokuskan pada dua komoditi ekspor utama Indonesia yang saat ini sangat minim dimiliki oleh negara lain, yakni batu bara dan Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah.
             Permintaan pasar Internasional untuk dua komoditi ekspor Indonesia itu memang sangat tinggi. Untuk batu bara sendiri misalnya, Indonesia sudah mengungguli China sebagai negara pengekspor batu bara terbesar di dunia. Rata-rata Indonesia mengekspor lebih dari 100 juta ton per tahunnya. Apalagi saat ini China membatasi ekspor batu baranya untuk kepentingan dalam negeri. Otomatis permintaan asing beralih ke Indonesia. Bahkan kini pun China termasuk tiga besar negara pengimpor batu bara dari Indonesia. Tahun lalu, impornya mencapai 13,8 juta ton, hanya kalah dari Jepang dan India di posisi satu dan dua sebagai negara tujuan utama ekspor batu bara Indonesia. Kemungkinan angka itu meningkat sangat besar sekali melihat semakin terbukanya pasar China-Indonesia yang sudah diikat dengan komitmen China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) atau perdagangan bebas ASEAN dan China.
             Untuk minyak kelapa sawit sendiri, Indonesia menjadi pengekspor terbesar menyusul turunnya produktivitas miyak sawit asal Malaysia. Kebutuhan negara-negara maju terhadap bahan baku beberapa jenis olahan dari minyak kelapa sawit mentah atau CPO tadi, kini mutlak didatangkan dari Indonesia. India menjadi negara pengimpor CPO terbesar dari Indonesia dengan peningkatan dalam tiga tahun terakhir mencapai 83,2 %. Kemungkinan meningkat sangat besar melihat tingginya ketergantungan India akan minyak kelapa sawit mentah untuk kebutuhan industrinya.
             Lalu timbul pertanyaan, sanggupkah kita terus menyediakan dan mengekspor bahan mentah tadi ? Malaysia secara bertahap sudah menyulap lahan-lahan sawit mereka menjadi kawasan industri. Menyebabkan produksinya makin menurun dari tahun ke tahun. China membatasi penambangan batu baranya karena takut terkikis dengan cepat. Produksinya pun hanya difokuskan untuk kebutuhan dalam negeri. Bahkan presiden Hu Jintao mengarahkan negaranya menjadi pengimpor saja untuk mengamankan pasokan batu bara mereka.

           Permintaan Crude Palm Oil (CPO) atau Minyak Sawit Mentah asal Indonesia terus meningkat. Perlu penambahan lahan ? (repro)


             Dua negara tadi, China dan India memiliki ketergantungan yang besar terhadap dua komoditi ekspor andalan Indonesia. Ketergantungan itulah yang membuat Stanley memberikan analisis positif terhadap perkembangan ekonomi Indonesia kedepan. Dengan memaksimalkan potensi ekspor keduanya, Indonesia dinilai akan memperoleh keuntungan beratus-ratus kali lipat, yang tentu berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
             Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pernah berencana meningkatkan ekspor batu bara mencapai 199 juta ton pada 2014. Produktivitas yang pasti melambungkan Indonesia sebagai produsen batu bara mentah yang tak tertandingi di dunia. Pertanyaannya, sampai kapan ekspor batu bara tersebut bisa kita andalkan ? Karena secara jelas batu bara adalah jenis sumber energi yang tak bisa diperbarui.
             Ok lah untuk beberapa tahun ke depan kita bisa berharap banyak terhadap produksi batu bara kita. Tetapi setelah itu, setelah hasil bumi kita terkuras habis akankah kita tetap mampu menopang perekonomian bangsa ini ? rasanya sulit sekali. China dengan kecerdikan mereka membatasi eksploitasi batu baranya, dan fokus mengembangkan industri ringan yang inovatif memanfaatkan pasar bebas ASEAN-China. India juga terus berinovasi meningkatkan industri mikro yang mayoritas bahan bakunya berasal dari Indonesia untuk menjamin keberlangsungan ekonomi mereka.
             Indonesia sampai saat ini masih terus bergelut dengan upaya menguras total sumber daya alamnya untuk kepentingan kapitalis dunia. Memang China dan India mau dan mampu membayar mahal untuk setiap bahan baku yang mereka datangkan dari Indonesia. Karena secara jelas roda pertumbuhan ekonomi mereka sangat ditentukan oleh besar kecilnya andil Indonesia baik sebagai produsen bahan baku maupun sebagai konsumen produk mereka. Tetapi imbasnya nanti, ketika sumber daya alam terkuras habis, kita hanya akan menjadi konsumer pesakitan yang jadi sangat tergantung kepada negara lain.
             Untuk merealisasikan mimpi menjadikan Indonesia sejajar dengan China dan India, memang bukanlah perkara mudah. Tetapi mengenjot ekspor batu bara seperti usulan Stanley untuk kejayaan yang tak bisa dipastikan kemudian jatuh kembali bangkrut setelah harta itu habis, rasanya bukanlah pilihan yang tepat untuk benar-benar mewujudkan kerajaan ekonomi baru Chindonesia. Pemerintah harus berpikir kritis dan mempertimbangkan prospek jangka panjang untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Maka ada baiknya pemerintah mulai membatasi eksploitasi batu bara dan sumber daya alam lainnya, termasuk produksi minyak kelapa sawit mentah secara berlebihan.
             Kita bisa saja meniru China dan India dalam pengembangan industri kreatif yang menyeluruh di lapisan masyarakat. Tidak berdiri sebagai negara produsen bahan baku untuk kepentingan industri negara-negara asing saja. Karena jika terus begitu, kita hanya akan menjadi penonton yang tenang yang menikmati saja hasil industri negara lain, sambil menunggu kehancuran ketika hasil bumi kita habis.
             Dibandingkan China dan India, sumber daya alam kita jauh lebih melimpah, yang bisa dijadikan modal utama untuk pengembangan industri yang komprehensif dan berkelanjutan. China dan India membangun industrinya dengan bahan baku yang sebagian besar berasal dari Indonesia. Mengapa tidak kita manfaatkan saja hasil bumi tersebut untuk pembangunan industri kita. Dengan begitu kita tidak jor-joran lagi mengimpor bahan jadi dari negara lain yang sebenarnya bersumber dari Indonesia.
             Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan usaha-usaha kreatif lainnya mutlak dibutuhkan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah mesti fokus membidani terciptanya mental entreprenuership dalam masyarakat. Menurut Ciputra, cukup dua persen saja penduduk Indonesia yang terjun ke dunia usaha, maka sudah bisa dipastikan mampu menutupi pengangguran dan menciptakan ekonomi yang kondusif. Sudah waktunya kita berpikir mandiri untuk membangun industri-industri kreatif yang akan memajukan Indonesia di masa mendatang.
              Maka dengan sendirinya, Indonesia akan menjadi bagian dari raksasa ekonomi dunia “Chindonesia” untuk waktu yang lama. Tidak ditentukan oleh seberapa besar cadangan batu bara dan sumber daya alam di negerinya. Karena kita sebetulnya memiliki sumber daya manusia yang kompeten untuk membangun industri kita dengan memadukan skill, kreatifitas, dan sumber daya alam yang melimpah.


Tidak ada komentar: