Oleh Heri Faisal
Setelah Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan angkatan lama, dunia tidak lagi mengenal sastrawan asal Indonesia. Begitupun dengan karya-karya mereka. Terakhir, novel Saman karya Ayu Utami diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Setelah itu tidak ada lagi karya anak negeri yang beredar di mancanegara. Nama-nama sastrawan Indonesia juga tenggelam seiring makin menjamurnya karya-karya penulis asing.
Seharusnya dengan jumlah penduduk yang sangat besar, dan banyaknya fasilitas jurusan sastra yang hampir ada di setiap Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta, serta didukung iklim demokrasi yang memungkinkan sastrawan bekerja bebas, karya sastra rasanya bukanlah hal yang sulit untuk ditemukan. Begitupun dengan satrawan-sastrawan muda, mestinya lahir bak jamur di musim hujan. Tetapi kenyataannya, kita masih sulit mencari karya-karya sastra dan orang-orang yang mau berkecimpung di dunia sastra. Persentasenya belum mengalami peningkatan yang berarti. Kalaupun bertambah, itu baru dari segi kuantitas. Sementara kualitasnya masih jadi pertanyaan kita semua.
Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah seminar di Jakarta (repro)
Sebenarnya ada persoalan apa dibalik itu ? Apakah sastrawan kita memang tidak punya potensi untuk menulis dengan baik, ataukah justru pembaca yang tidak suka dengan karya penulis pribumi. Rasanya tidak benar. Sastrawan kita juga piawai menulis bagus dan layak untuk dikonsumsi publik. Tidak kalah dengan karya-karya penulis asing. Karya penulis pribumi kebanyakan juga laris manis di pasaran. Sebut saja Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang jadi hit di kalangan remaja. Atau Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang memberikan suguhan cinta dalam balutan sastra yang menyentuh. Serta thriller Negara Kelima karya E.S Ito yang memberikan gaya baru dalam dunia tulis menulis di Indonesia. Artinya dunia tulis menulis di negeri ini khususnya di bidang sastra ternyata belum memudar. Masih banyak kesempatan untuk unjuk gigi dan memamerkan potensi sastrawan Indonesia di mancanegara.
Modernitas selera pembaca
Mengapa sastrawan Indonesia minim karya dan popularitas di mata dunia ? Dalam pandangan saya, kita tidak minim karya. Justru mungkin sebaliknya, kita kaya akan karya sastra. Tetapi kita belum maksimal dalam memberdayakan potensi setiap elemen yang memungkinkan terjadinya peningkatan popularitas penulis Indonesia. Bisa kita ambil contoh seperti apa konsumsi bacaan publik yang fenomenal dalam beberapa tahun terakhir. Ada kecenderungan perubahan selera. Dulu, orang begitu bangga ketika membaca karya-karya Buya Hamka, NH Dhini, Arswendo Atmowiloto, Mira W, Pramoedya Ananta Toer meski secara sembunyi, dan penulis-penulis lain. Memang belum banyak karya penulis asing yang masuk ke Indonesia waktu itu. Tetapi, karya penulis-penulis ini selain dibaca anak negeri juga dikagumi pembaca-pembaca asing. Bahkan karya-karya mereka beredar luas di mancanegara.
Kecenderungan generasi sekarang dengan platform modernisasi yang menurut mereka luar biasa, menjadikan karya asing best seller di toko-toko buku. Sebut saja serial Harry Potter karya JK Rowling, The Da Vinci Code karya Dan Brown, In The Name of The Rose karya Umberto Eco, The Kite Runner karya Khaled Hossaini, atau baru-baru ini sekuel Twilight karya Stephanie Meyer benar-benar digandrungi kaum muda. Artinya, ada semacam hegemoni tersendiri di tengah masyarakat. Ada prestise yang tinggi jika yang dibaca adalah karya penulis asing. Padahal belum tentu kualitas tulisannya melebihi penulis pribumi. Karena jika kita perhatikan dengan cermat, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, 5 cm karya Donny Dhirgantoro, atau Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi justru memberikan semacam kekuatan jiwa yang mencerminkan kultur budaya yang lebih menarik daripada sekedar thriller yang banyak ditawarkan penulis asing.
Lalu modernitas seperti apa yang kita ciptakan. Apakah dengan mengkonsumsi karya asing kita bisa disebut modern ? atau istilah lainnya lebih bisa kelihatan berkelas. Saya rasa tidak. Justru dengan terus mengkonsumsi karya asing, geliat pertumbuhan karya lokal akan memudar. Karena jika alasan tadi dikemukakan lagi, saya sendiri sebagai penikmat sastra sangat tidak menerima. Apalagi mereka (penulis) yang aktif langsung di dunia tersebut. Padahal dukungan langsung dari kita berupa penghargaan terhadap sebuah karya sangat dibutuhkan untuk memotivasi penulis agar terus meningkatkan kualitas karyanya.
Mungkin sebagian dari kita masih beranggapan dunia barat adalah patokan sebuah kemajuan. Kita garis bawahi dulu, kemajuan seperti apa pula yang kita maksudkan. Karena di Inggris sendiri, karya sastra baru dikenal di abad pertengahan ketika Geoffrey Chaucher mengenalkan tulisan yang enak dibaca dalam karyanya The Canterburry Tales. Sejak itu lahirlah sastrawan-sastrawan ternama di Eropa semacam Jonathan Swift, William Shakespeare, Antonio Chekov dan lain-lain meramaikan genre ini. Sementara di bumi nusantara sendiri, sastra sudah ada dalam bentuk sajak-sajak, wejangan, dan curahan hati yang ditulis raja-raja Mataram dan para empu-empu yang piawai menguraikan Tripitaka.
Nah, dimana sebenarnya kiblat sastra itu ? Apakah di dunia barat atau di bumi nusantara. Kita tidak punya data yang konkrit. Namun dari banyak kisah, justru sastra lebih dulu dikenal di Timur Tengah. Itu bisa dibuktikan dari sajak-sajak yang ditulis Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Bahkan di masa khulafaur rasyidin, tulisan yang enak dibaca acapkali didendangkan para raja-raja tanah Arab itu.
Globalisasi potensi
Banyak cara yang bisa ditempuh untuk kembali menaikkan pamor penulis Indonesia di percaturan dunia tulis menulis. Kepedulian dan apresiasi pembaca terhadap karya penulis pribumi adalah poin pertama yang mesti diingat. Bagaimana kita menyamakan pandangan bahwa karya penulis asing belum tentu yang terbaik. Bisa jadi karya-karya Ayu Utami adalah cerminan lain diri kita bila dimaknai dengan penghayatan lebih. Ok lah, sebagai perbandingan karya asing layak kita ketengahkan, tetapi tetap dengan perspektif untuk meningkatkan kualitas penulis pribumi.
Karya-karya terjemahan menguasai penjualan di toko-toko buku (repro)
Meningkatkan kualitas karya penulis Indonesia bukan tugas para penulis dan otoritas sastra saja. Tetapi adalah tugas semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun yang hanya sebagai penikmat karya. Dan pemerintah melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata memiliki peran lebih sebagai pionir untuk menumbuhkembangkan mental cinta budaya dan sastra Indonesia dalam tradisi masyarakat modern seperti sekarang.
Dalam sebuah pertemuan para penulis di Bali, Seno Gumira Ajidarma bilang “pendidikan dan kampanye kebudayaan Indonesia itu bukan cuma tari Bali dan gamelan Jawa, melainkan juga sastra Indonesia modern,” (Media Indonesia, 25/10/09). Komentar Seno ini merujuk pada program pemerintah yang terkesan hanya mempromosikan kesenian-kesenian yang menonjol di beberapa daerah saja sebagai kekayaan budaya Indonesia. Padahal sebenarnya cakupan kebudayaan itu luas sekali, termasuk karya sastra.
Pemerintah dituntut berperan lebih mempromosikan karya penulis Indonesia. Karena tanpa promosi, karya penulis Indonesia tidak akan diketahui oleh masyarkat mancanegara. Harus ada satu lembaga atau unit kerja yang bertugas mengalihbahasakan karya-karya penulis pribumi untuk didistribusikan secara internasional. Atau bisa juga dengan memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk mengelola sektor ini, dengan bimbingan, bantuan, dan pengawasan pemerintah. Seno juga setuju jika pemerintah memfasilitasi wadah penerjemahan karya penulis Indonesia ke dalam bahasa asing. Dengan begitu akan membuka kesempatan karya penulis pribumi dinikmati masyarakat asing.
Perimbangan distribusi karya juga dianggap perlu. Berapa perbandingan karya asing yang masuk dan karya yang diekspor harus dibagi dengan jelas. Ini tujuannya untuk mengimbangi serbuan asing terhadap dunia kepenulisan di bumi nusantara. Jika tidak, kita harus bersiap untuk tidak menemukan lagi karya penulis pribumi di toko-toko buku.
Diterbitkan di Harian Singgalang, 8 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar