Oleh Heri Faisal
Pernahkah kita bangga memakai pakaian bermerek Nike, Adidas, Polo, GAP dan puluhan merk lainnya yang hanya bisa didapat dengan bilangan rupiah yang tak sedikit ? Pernahkah kita tahu dimana pakaian tersebut diproduksi ? Atau pernahkah kita tahu berapa besar bayaran buruh yang mengerjakan pakaian dengan harga selangit itu ?. Pastinya kita bangga memakai pakaian bermerk dan berkualitas tinggi yang diidentikkan dengan kalangan berada tersebut. Tetapi mungkin hanya segelitir dari kita yang tahu dimana barang-barang tersebut diproduksi dan dibayar berapa karyawannya.
Massa berdemontrasi melarang beredarnya produk Adidas (repro)
Sebuah pengakuan terhadap ketidakseimbangan harga produk dengan bayaran buruh yang mengerjakannya diungkapkan John Perkins dalam bukunya The Secret History of The American Empire. Perkins membeberkan fakta bahwa buruh Nike di Jakarta hanya dibayar dua dolar perhari. Padahal mereka dipaksa kerja lembur hampir 15 jam setiap harinya. Tanpa pernah perusahaan memperdulikan bagaimana kesehatan dan taraf hidup para buruhnya. Kondisi serupa juga dirasakan ratusan ribu buruh di Negara perwakilan perusahaan-perusahaan besar tersebut. Terutama di Negara-negara berkembang yang kekuatan hukumnya masih bisa dimonopoli oleh penguasa.
Korporatokrasi adalah jaringan yang bertujuan untuk memetik laba atau keuntungan yang besar melalui cara-cara korupsi, kolusi dan nepotisme. Negara-negara ketiga yang dianggap terbelakang dan masih kolot menjadi sasaran sistem ini. Perkins yang mengaku pernah menjadi bandit ekonomi dalam buku pertamanya Confession of An Economic Hitman menjelaskan bagaimana mereka bekerja mengeruk hasil bumi Negara-negara miskin untuk diperas bagi kehidupan generasi mereka mendatang. Jaringan ini berbentuk korporasi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar. Korporasi ini memainkan peran besar melalui Bank Dunia dan IMF untuk kemajuaan sepihak, Amerika Serikat.
Dalam sebuah laporan Andreas Harsono tentang privatisasi perusahaan air minum di Jakarta yang dimuat dalam buku Jurnalisme Sastrawi edisi revisi berjudul Dari Thames ke Ciliwung, menunjukkan bagaimana korporatokrasi bermain cerdik. Dengan berbagai alasan perusahaan mendesak pemerintah untuk menaikkan tarif air dengan alasan terjadi krisis dan pembengkakan biaya operasional di Thames Water (salah satu perusahaan yang menangani air bersih di Jakarta). Jika tidak mereka mengancam akan menarik investasinya dari Jakarta. Karena takut investor asing menutup investasinya, maka pemerintah menaikkan tarif air, bahkan dengan harga yang lebih tinggi dari permintaan investor. Imbasnya, rakyat juga yang harus menanggung beban untuk kemewahan para korporat tersebut.
Praktik seperti ini acapkali dilakukan para korporat di negara-negara berkembang. Terutama di kawasan Asia Tenggara, Afrika, Amerika Selatan dan Timur Tengah yang tergolong masih berperekonomian rendah. Dengan dalih membantu perbaikan ekonomi, kucuran dana besar dialirkan dari Bank Dunia dan IMF untuk negara-negara tersebut. Sementara perusahaan-perusahaan besar pelaku korporatokrasi sudah berdiri di balik tameng lembaga-lembaga dunia ini untuk terus mengeruk keuntungan besar bagi perusahaan dan kedigdayaan negara mereka.
Para korporat memanfaatkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mulai dari pendekatan persuasif pada pemimpin negara tertentu, peminjaman modal melalui lembaga-lembaga dunia, hingga penggulingan kekuasaan di sebuah negara. Pelaku korporatokrasi ini tak segan juga melakukan pembunuhan terhadap pemimpin suatu negara yang menurut mereka menghalangi kerja jaringan ini. Seperti pembunuhan presiden Panama, Omar Torrijos.
Seperti kasus di atas, negara yang masih bergantung pada pinjaman asing dan hidup dari investasi pemodal asing akan rentan diintervensi para investor. Yang berujung pada pembengkakan hutang negara dan pemisahan taraf hidup masyarakat. Pemerintah harus berpikir bagaimana menciptakan sistem ekonomi mandiri tanpa campur tangan pihak asing untuk lepas dari korporatokrasi.
Selama pemerintahan Soekarno, pinjaman dari pihak asing sedapat mungkin dielakkan. Soekarno menerapkan aturan yang menguntungkan masyarakat dengan menekan investor asing untuk tidak memiliki hak tawar lebih terhadap pemerintah. Peluang besar justru diberikan kepada pengusaha lokal. Dengan bebagai kemudahan untuk menghambat laju monopoli investor asing di pasar bisnis. Hal yang sama juga dilakukan Mahatir Muhammad di Malaysia. Kebijakan membatasi ruang gerak investor asing menjadi awal kebangkitan pengusaha lokal Malaysia.
Nah, apakah kita masih akan terus bercokol dalam cengkeraman korporatokrasi ? Kita sendirilah yang harus menentukan sikap. Menurut Perkins, korporatokrasi itu bisa dihindari dan tidak menutup kemungkinan pula untuk bisa dibasmi. Tinggal bagaimana kita bertindak untuk membangun ekonomi kita dan tidak bergantung pada pinjaman asing.
Diterbitkan di Harian Singgalang, April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar