Oleh Heri Faisal
“Saya juga nggak tahu, mungkin karena kafein yang dikandungnya, maka orang bisa ketagihan,” kata Herry Gani yang mengaku sudah menjadi penikmat kopi sejak SMA. Dirinya mengenal kopi bahkan jauh sebelum itu, ketika masih kanak-kanak.
Orangtuanya yang menjadi pedagang sekaligus penikmat kopi, membuatnya mengenal minuman paling dinikmati seluruh kalangan itu. Dia masih ingat betul ketika kanak-kanak, seringkali mencuri kopi ayahnya. Dari keluargalah ketertarikan terhadap kopi muncul.
Sampai menikah, menikmati minuman “si hitam” tetap dilakukan bersama sang istri.
Bahkan, pengusaha klinik kecantikan ini mengaku sudah mencicipi hampir seluruh jenis kopi yang beredar di Indonesia dan mancanegara. Mulai dari kopi gayo, kopi sidikalang, kopi mandailing, hingga kopi makassar, sudah akrab di lidahnya.
Tetapi, sejak setahun belakangan, dia rutin mengonsumsi kopi luwak lampung. “Memang berat di ongkos karena kopi luwak mahal, tetapi karena kualitasnya bagus, sensasi minum kopi dapat. Kenikmatan itu yang mahal,” katanya kepada Padang Ekspres kemarin (24/2).
Dia menyebut semua jenis kopi, asal asli sebenarnya memiliki kualitas bagus. Tinggal bagaimana kopi tersebut dikemas dan peralatan meraciknya ikut menentukan. Dia mencontohkan untuk kopi mandailing yang banyak dipakai untuk bahan Americano, kalau diseduh dengan air panas biasa pun rasanya belum tentu nikmat.
Makanya, dia memiliki peralatan sendiri untuk membuat kopi. Salah satunya, mocca pot, sejenis teko khusus yang mampu mengeluarkan uap kopi ketika dipanaskan. Alat ini mampu memisahkan ampas kopi dengan uapnya. Dan, uap yang menimbulkan aroma khusus inilah yang kemudian diminum.
“Sekarang saya sulit minum kopi di luar (warung atau kafe), karena nggak sesuai dengan selera saya,” katanya. Dia menyebut jika bepergian, terutama ke Batam dan Jakarta, selalu menyiapkan peralatan ngopi dan membawa bubuk sendiri.
Berkenalan dengan kopi, kata penikmat kopi lainnya, Fauzan Muslim, lantaran pergaulan. Karena sering duduk di warung, membuatnya menjadi pengopi berat. Seperti sudah tradisi, duduk di warung maupun di kafe-kafe, tak lengkap tanpa ngopi.
“Saya menikmati kopi ya karena pergaulan itu,” kata pegawai sales marketing mobil ini.
Bagaimana pula dengan Alit? Dia mengenal dan menyukai kopi sejak di bangku kuliah. Sembari menunggu jam kuliah, Alit nongkrong di warung sambil meminum kopi. Kebiasaan itulah yang terus berlanjut hingga sekarang.
Namun sampai saat ini, baik Fauzan maupun Alit, belum memanjakan lidahnya dengan kopi jenis tertentu. “Bagi saya kopi jenis apa pun masuk, tak jadi soal,” kata pengusaha laundry. Karena untuk kopi, apalagi jenis kopi luwak, harganya terbilang mahal.
Diterbitkan di Padang Ekspres Sabtu, 24 Februari 2012
Bagi penikmat kopi,
sehari tanpa minum kopi, ada sesuatu yang kurang. Apalagi menggandrungi
kopi dengan jenis tertentu, tak makan pun tak jadi soal, asal kopi yang
diinginkan bisa diseruput. Ya, begitulah daya tarik kopi bagi
penikmatnya.
"Hampa tanpa secangkir kopi" penikmat kopi (f/ Sy Ridwan)
“Saya juga nggak tahu, mungkin karena kafein yang dikandungnya, maka orang bisa ketagihan,” kata Herry Gani yang mengaku sudah menjadi penikmat kopi sejak SMA. Dirinya mengenal kopi bahkan jauh sebelum itu, ketika masih kanak-kanak.
Orangtuanya yang menjadi pedagang sekaligus penikmat kopi, membuatnya mengenal minuman paling dinikmati seluruh kalangan itu. Dia masih ingat betul ketika kanak-kanak, seringkali mencuri kopi ayahnya. Dari keluargalah ketertarikan terhadap kopi muncul.
Sampai menikah, menikmati minuman “si hitam” tetap dilakukan bersama sang istri.
Bahkan, pengusaha klinik kecantikan ini mengaku sudah mencicipi hampir seluruh jenis kopi yang beredar di Indonesia dan mancanegara. Mulai dari kopi gayo, kopi sidikalang, kopi mandailing, hingga kopi makassar, sudah akrab di lidahnya.
Tetapi, sejak setahun belakangan, dia rutin mengonsumsi kopi luwak lampung. “Memang berat di ongkos karena kopi luwak mahal, tetapi karena kualitasnya bagus, sensasi minum kopi dapat. Kenikmatan itu yang mahal,” katanya kepada Padang Ekspres kemarin (24/2).
Dia menyebut semua jenis kopi, asal asli sebenarnya memiliki kualitas bagus. Tinggal bagaimana kopi tersebut dikemas dan peralatan meraciknya ikut menentukan. Dia mencontohkan untuk kopi mandailing yang banyak dipakai untuk bahan Americano, kalau diseduh dengan air panas biasa pun rasanya belum tentu nikmat.
Makanya, dia memiliki peralatan sendiri untuk membuat kopi. Salah satunya, mocca pot, sejenis teko khusus yang mampu mengeluarkan uap kopi ketika dipanaskan. Alat ini mampu memisahkan ampas kopi dengan uapnya. Dan, uap yang menimbulkan aroma khusus inilah yang kemudian diminum.
“Sekarang saya sulit minum kopi di luar (warung atau kafe), karena nggak sesuai dengan selera saya,” katanya. Dia menyebut jika bepergian, terutama ke Batam dan Jakarta, selalu menyiapkan peralatan ngopi dan membawa bubuk sendiri.
Berkenalan dengan kopi, kata penikmat kopi lainnya, Fauzan Muslim, lantaran pergaulan. Karena sering duduk di warung, membuatnya menjadi pengopi berat. Seperti sudah tradisi, duduk di warung maupun di kafe-kafe, tak lengkap tanpa ngopi.
“Saya menikmati kopi ya karena pergaulan itu,” kata pegawai sales marketing mobil ini.
Bagaimana pula dengan Alit? Dia mengenal dan menyukai kopi sejak di bangku kuliah. Sembari menunggu jam kuliah, Alit nongkrong di warung sambil meminum kopi. Kebiasaan itulah yang terus berlanjut hingga sekarang.
Namun sampai saat ini, baik Fauzan maupun Alit, belum memanjakan lidahnya dengan kopi jenis tertentu. “Bagi saya kopi jenis apa pun masuk, tak jadi soal,” kata pengusaha laundry. Karena untuk kopi, apalagi jenis kopi luwak, harganya terbilang mahal.
Diterbitkan di Padang Ekspres Sabtu, 24 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar