Oleh Heri Faisal
Taufik, guru agama di sekolah itu, menjadi pengaransemen musik. Dia pembina eskul nasyid dan sangat meminati seni. “Aransemennya sambil latihan saja sama anak-anak,” kata Taufik. Makanya ia tidak membebankan siswanya dengan target-target yang tinggi. “Yang penting tampil lepas dan menikmati saja,” tambahnya.
Nia tak menyangka bisa menang dalam lomba musikalisasi puisi yang diadakan Balai Bahasa Padang tersebut. “Latihan cuma sembilan hari. Pesimis sih awalnya. Tapi mungkin karena kami tampil lepas dan tidak punya target apa-apa, makanya bisa tampil bagus,” akunya.
Menurut Okta, peserta lain banyak menampilkan hal-hal unik, seperti aransemen musik dangdut, atau musikalisasi puisi dengan lebih teatrikal. Penampilan mereka sendiri menurutnya tidaklah terlalu menonjol, namun enak dinikmati. Yang jelas, kata Okta, mereka mampu menjiwai puisi itu dan tampil lepas ketika membawakannya. Apalagi, pesan-pesan yang disampaikan lebih pada hal-hal manusiawi yang seiring dengan napas balad.
Seorang juri, Nina Rianti, menilai penampilan Shohibussalam paling rapi, solid dan tenang. Tidak ada kesan terburu-buru. Aransemen musiknya juga tidak berlebihan. “Pokoknya juri menemukan apa itu musikalisasi puisi dalam penampilan mereka,” ujar Nina bangga.
Sepanjang lomba waktu itu, Nina mengaku kesulitan mencari standar musikalisasi puisi yang diinginkan. Shohibussalam yang tampil usai rehat siang, mampu mengobati dahaga juri tentang musikalisasi puisi.
Bekal musik nasyid dan vokal yang bagus menurut Taufik adalah salah satu kelebihan anak didiknya. “Ketika diberi tahu kita dibebaskan untuk mengaransemen musik, saya berinisiatif mengembangkan dari nasyid saja. Toh, anak-anak basic-nya nasyid,” beber Taufik. Jadi pada saat latihan tidak banyak kesulitan yang ditemui.
Nia mengaku tak satu pun dari mereka yang ikut les vokal atau sekolah musik diluar sekolah. ”Belajar otodidak saja,” tambah Bizar. Karena sudah kompak di eskul nasyid, mereka jadi terbiasa tampil bersama.
Konsekuensi dari kemenangan itu, grup musikalisasi puisi MAN 2 Padang dipilih mewakili Sumatera Barat untuk lomba regional Sumatera di Palembang, pada 5-6 Juli tahun ini.
“Saya tetap tidak menargetkan apa-apa untuk di Palembang besok. Yang penting anak-anak tampil lepas, nikmati dengan sepenuh hati, dan tampilkan yang terbaik,” kata Taufik memotivasi.
Sebelumnya, MAN 2 Padang juga menang tahun sebelumnya dalam kompetisi yang sama. Kala itu, mereka mewakili Sumbar untuk regional Sumatera di Pekanbaru Juni 2010 lalu. “Di regional dapat juara III,” tutup Taufik.
Diiringi musik balad, dengan perpaduan permainan gitar, pianika, perkusi, dan harmonika, puisi berjudul “Bukit Biru Bukit Kelu” karya Taufik Ismail terasa berbeda ketika ditampilkan di Museum Adityawarman beberapa waktu lalu. Enam orang siswa MAN 2 Padang memainkan puisi penyair Angkatan ‘66 itu dengan penuh penghayatan.
Grup Nasyid MAN 2 Padang tengah berlatih di halaman sekolahnya. (f/padek)
Mereka adalah Ridho Abdul Aziz (gitar), Kurnia Nanda (vianika), Kurnia Hidayatul (vianika), Oktafril Febriansyah (lead vokal), Bizar Al-Furqon (gitar), dan Pije Jevitson (perkusi, harmonika). Semuanya anggota Grup Nasyid Shohibussalam dan Shohibatussalam yang didirikan sejak lima tahun lalu. Grup ini menjadi ekstrakurikuler (eskul) yang banyak diminati pelajar.
Taufik, guru agama di sekolah itu, menjadi pengaransemen musik. Dia pembina eskul nasyid dan sangat meminati seni. “Aransemennya sambil latihan saja sama anak-anak,” kata Taufik. Makanya ia tidak membebankan siswanya dengan target-target yang tinggi. “Yang penting tampil lepas dan menikmati saja,” tambahnya.
Nia tak menyangka bisa menang dalam lomba musikalisasi puisi yang diadakan Balai Bahasa Padang tersebut. “Latihan cuma sembilan hari. Pesimis sih awalnya. Tapi mungkin karena kami tampil lepas dan tidak punya target apa-apa, makanya bisa tampil bagus,” akunya.
Menurut Okta, peserta lain banyak menampilkan hal-hal unik, seperti aransemen musik dangdut, atau musikalisasi puisi dengan lebih teatrikal. Penampilan mereka sendiri menurutnya tidaklah terlalu menonjol, namun enak dinikmati. Yang jelas, kata Okta, mereka mampu menjiwai puisi itu dan tampil lepas ketika membawakannya. Apalagi, pesan-pesan yang disampaikan lebih pada hal-hal manusiawi yang seiring dengan napas balad.
Seorang juri, Nina Rianti, menilai penampilan Shohibussalam paling rapi, solid dan tenang. Tidak ada kesan terburu-buru. Aransemen musiknya juga tidak berlebihan. “Pokoknya juri menemukan apa itu musikalisasi puisi dalam penampilan mereka,” ujar Nina bangga.
Sepanjang lomba waktu itu, Nina mengaku kesulitan mencari standar musikalisasi puisi yang diinginkan. Shohibussalam yang tampil usai rehat siang, mampu mengobati dahaga juri tentang musikalisasi puisi.
Bekal musik nasyid dan vokal yang bagus menurut Taufik adalah salah satu kelebihan anak didiknya. “Ketika diberi tahu kita dibebaskan untuk mengaransemen musik, saya berinisiatif mengembangkan dari nasyid saja. Toh, anak-anak basic-nya nasyid,” beber Taufik. Jadi pada saat latihan tidak banyak kesulitan yang ditemui.
Nia mengaku tak satu pun dari mereka yang ikut les vokal atau sekolah musik diluar sekolah. ”Belajar otodidak saja,” tambah Bizar. Karena sudah kompak di eskul nasyid, mereka jadi terbiasa tampil bersama.
Konsekuensi dari kemenangan itu, grup musikalisasi puisi MAN 2 Padang dipilih mewakili Sumatera Barat untuk lomba regional Sumatera di Palembang, pada 5-6 Juli tahun ini.
“Saya tetap tidak menargetkan apa-apa untuk di Palembang besok. Yang penting anak-anak tampil lepas, nikmati dengan sepenuh hati, dan tampilkan yang terbaik,” kata Taufik memotivasi.
Sebelumnya, MAN 2 Padang juga menang tahun sebelumnya dalam kompetisi yang sama. Kala itu, mereka mewakili Sumbar untuk regional Sumatera di Pekanbaru Juni 2010 lalu. “Di regional dapat juara III,” tutup Taufik.
Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu, 11 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar