Komunitas Sarueh Padang Panjang
Oleh Heri Faisal
”Isunya lokal, tapi dapat menyentuh wilayah universal,” kata David Darmadi, ketua Komunitas Sarueh yang ikut mengerjakan film tersebut.
Sarueh, kata David, ingin merekam semua itu, melalui medium video, foto, audio, gambar, dan teks kemudian mengolahnya menjadi pusat data dan informasi mengenai Padangpanjang. “Karena kami di Padangpanjang. Jadi, kami fokus mengangkat sejarah, sosial dan budaya masyakarat sini,” ungkapnya.
Komunitas Sarueh didirikan oleh beberapa orang mahasiswa jurusan televisi dan film, Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang pada Oktober 2008. Menurut David, atas dasar ketidakpuasan terhadap disiplin ilmu yang didapat dalam proses perkuliahan, mereka membentuk komunitas itu sebagai wadah diskusi dan menampung aspirasi untuk berkreativitas.
Baru kemudian pada awal 2009, Sarueh berubah menjadi sebuah komunitas yang fokus mendokumentasikan fenomena-fenomena yang berkembang di tengah masyarakat. Itu terjadi setelah berkenalan dengan Akumassa, sebuah program pemberdayaan komunitas yang digagas Forum Lenteng di Jakarta.
“Akumassa punya program-program pendokumentasian, memproduksi karya, pemberdayaan film dan video, dan banyak lagi yang berkolaborasi dengan berbagai komunitas di daerah, termasuk kita,” terang David.
Kolaborasi inilah yang akhirnya menghantarkan David dan beberapa karya Sarueh mengibarkan panji Akumassa menuju festival film tertua di Kanada, Images Festival Toronto, yang diikuti oleh 28 negara dari seluruh dunia. “Orang di luar negeri sana sangat perhatian dengan narasi-narasi kecil budaya tambang, dunia sayur dan sejenisnya. Saya juga ingin mengembangkan itu di Padangpanjang,” tekadnya.
David berencana, kelak Sarueh akan menjadi pusat data, dan informasi mengenai masalah sejarah, sosial, dan budaya masyarakat di kota hujan tersebut. “Nanti, semua dokumentasi, data yang kami miliki didistribusikan gratis kepada siapa saja yang membutuhkan,” ujarnya.
Dia mengaku sangat beruntung bisa berada di tengah Sarueh. Di komunitas tersebut dia belajar banyak hal.
Menulis, merekam, dan mengenal masyarakat dengan cara yang tidak dipikirkan orang lain. “Kami di sini mandiri, dibebaskan berkreativitas. Sebab, di kampus yang dipelajari kan terbatas. Akhirnya, disinilah tempat kami mencurahkan semua unek-unek dan aspirasi,” tukasnya.
Saat ini, Sarueh sudah memiliki anggota sebanyak 30 orang. David sendiri bertindak sebagai pengurus bersama rekannya, Linda Gusnita, Rudi Rahman Firdaus, Fandi Taufan, Novian Arif, Affan Jaya Rahman, Fadly Nasrul, Harryaldi Kurniawan, dan banyak lagi.
Balega Baca Buku
Berkelimun di dunia gambar juga butuh suntikan pengetahuan setiap saat. Untuk memperpanjang napas itulah, Sarueh selalu mengadakan acara Sarueh Baca Buku.
Program ini dilakukan dua kali seminggu selama 2 jam dalam sehari. Setiap Rabu, Kamis, pukul 20.00, satu bab buku jadi santapan wajib. Teknik yang diterapkan setiap satu orang akan membaca dengan keras (bukan berteriak) sebanyak tiga halaman dan dilakukan secara balega (bergantian).
Mengingat Sarueh hanya mempunyai satu buku untuk satu judul, maka setiap satu orang yang ikut diperkenankan untuk mengkopi sendiri halaman yang dibaca. Sehingga mempermudahkan saat proses membaca.
Untuk saat sekarang, koleksi bacaan di perpustakan terdiri dari 16 judul buku, 40 katalog perhelatan seni nasional-internasional, 7 jurnal seputar video, seni rupa dan 15 majalah.
Semua koleksi bacaan Sarueh dapat dibaca dengan gratis oleh siapa saja di ruang tengah Sarueh. “Kami juga menerima sumbangan buku atau teks dalam bentuk apa pun,” kata Linda Gusnita.
Meski baru tegak, kelompok ini pantas diapresiasi. Bukan soal film mereka yang diputar di Toronto via Bukit Tui, tapi soal proses yang mau mereka lalui. Terus berkarya, Sarueh!
Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu, 2 Juli 2011
Oleh Heri Faisal
Film “Penambang Kapur di Bukit Tui” menjadi satu film pendek yang ikut diputar pada Images Festival Toronto, Kanada Maret lalu. Film berdurasi 7:52 detik ini mengangkat keseharian wanita-wanita yang bekerja mencari kapur di sekitar Bukit Tui, Padangpanjang.
”Isunya lokal, tapi dapat menyentuh wilayah universal,” kata David Darmadi, ketua Komunitas Sarueh yang ikut mengerjakan film tersebut.
Membaca balega, salah satu kebiasaan yang dikembangkan di Komunitas Sarueh. (f/padek)
Menurut David, narasi-narasi kecil yang mengangkat sejarah, sosial, dan budaya masyarakat lokal yang ingin terus mereka dokumentasikan.
Apalagi, dalam konteks modern dewasa ini, tidak banyak orang-orang yang peduli dengan lingkungan atau sosio-budaya masyarakat sekitarnya. Padahal, ada banyak hal yang menjadi persoalan di masyarakat.
Sarueh, kata David, ingin merekam semua itu, melalui medium video, foto, audio, gambar, dan teks kemudian mengolahnya menjadi pusat data dan informasi mengenai Padangpanjang. “Karena kami di Padangpanjang. Jadi, kami fokus mengangkat sejarah, sosial dan budaya masyakarat sini,” ungkapnya.
Komunitas Sarueh didirikan oleh beberapa orang mahasiswa jurusan televisi dan film, Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang pada Oktober 2008. Menurut David, atas dasar ketidakpuasan terhadap disiplin ilmu yang didapat dalam proses perkuliahan, mereka membentuk komunitas itu sebagai wadah diskusi dan menampung aspirasi untuk berkreativitas.
Baru kemudian pada awal 2009, Sarueh berubah menjadi sebuah komunitas yang fokus mendokumentasikan fenomena-fenomena yang berkembang di tengah masyarakat. Itu terjadi setelah berkenalan dengan Akumassa, sebuah program pemberdayaan komunitas yang digagas Forum Lenteng di Jakarta.
“Akumassa punya program-program pendokumentasian, memproduksi karya, pemberdayaan film dan video, dan banyak lagi yang berkolaborasi dengan berbagai komunitas di daerah, termasuk kita,” terang David.
Kolaborasi inilah yang akhirnya menghantarkan David dan beberapa karya Sarueh mengibarkan panji Akumassa menuju festival film tertua di Kanada, Images Festival Toronto, yang diikuti oleh 28 negara dari seluruh dunia. “Orang di luar negeri sana sangat perhatian dengan narasi-narasi kecil budaya tambang, dunia sayur dan sejenisnya. Saya juga ingin mengembangkan itu di Padangpanjang,” tekadnya.
David berencana, kelak Sarueh akan menjadi pusat data, dan informasi mengenai masalah sejarah, sosial, dan budaya masyarakat di kota hujan tersebut. “Nanti, semua dokumentasi, data yang kami miliki didistribusikan gratis kepada siapa saja yang membutuhkan,” ujarnya.
Dia mengaku sangat beruntung bisa berada di tengah Sarueh. Di komunitas tersebut dia belajar banyak hal.
Menulis, merekam, dan mengenal masyarakat dengan cara yang tidak dipikirkan orang lain. “Kami di sini mandiri, dibebaskan berkreativitas. Sebab, di kampus yang dipelajari kan terbatas. Akhirnya, disinilah tempat kami mencurahkan semua unek-unek dan aspirasi,” tukasnya.
Saat ini, Sarueh sudah memiliki anggota sebanyak 30 orang. David sendiri bertindak sebagai pengurus bersama rekannya, Linda Gusnita, Rudi Rahman Firdaus, Fandi Taufan, Novian Arif, Affan Jaya Rahman, Fadly Nasrul, Harryaldi Kurniawan, dan banyak lagi.
Meski belum genap berusia tiga tahun, atau jika dihitung dengan keseriusan mereka menggarap bidang sejarah, sosial dan budaya masyarakat melalui media video, foto, teks, dan sebagainya, usia mereka baru menginjak dua bulan.
“Sebab, baru bulan Mei kemarin kami benar-benar menjadi komunitas yang memfokuskan diri dalam bidang itu,” katanya. Tapi soal prestasi, Sarueh sudah dikenal di Padangpanjang, dan tak jarang pula ikut pertunjukan di daerah lain.
Balega Baca Buku
Berkelimun di dunia gambar juga butuh suntikan pengetahuan setiap saat. Untuk memperpanjang napas itulah, Sarueh selalu mengadakan acara Sarueh Baca Buku.
Program ini dilakukan dua kali seminggu selama 2 jam dalam sehari. Setiap Rabu, Kamis, pukul 20.00, satu bab buku jadi santapan wajib. Teknik yang diterapkan setiap satu orang akan membaca dengan keras (bukan berteriak) sebanyak tiga halaman dan dilakukan secara balega (bergantian).
Mengingat Sarueh hanya mempunyai satu buku untuk satu judul, maka setiap satu orang yang ikut diperkenankan untuk mengkopi sendiri halaman yang dibaca. Sehingga mempermudahkan saat proses membaca.
Untuk saat sekarang, koleksi bacaan di perpustakan terdiri dari 16 judul buku, 40 katalog perhelatan seni nasional-internasional, 7 jurnal seputar video, seni rupa dan 15 majalah.
Semua koleksi bacaan Sarueh dapat dibaca dengan gratis oleh siapa saja di ruang tengah Sarueh. “Kami juga menerima sumbangan buku atau teks dalam bentuk apa pun,” kata Linda Gusnita.
Meski baru tegak, kelompok ini pantas diapresiasi. Bukan soal film mereka yang diputar di Toronto via Bukit Tui, tapi soal proses yang mau mereka lalui. Terus berkarya, Sarueh!
Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu, 2 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar