Wirid Remaja Mushalla Shuwarul Hayat
Oleh Heri Faisal
Beda kiranya yang terjadi di Mushala Shuwarul Hayat. Wirid remaja digiatkan. Itu pun tak mengikuti aturan siapa pun. Pengurus di sana percaya dengan metode yang mereka punya. Ileh Satria, instruktur wirid, menilai sepinya kegiatan wirid remaja di masjid karena pengelolaan wirid remaja tanpa inovasi yang membuat anak-anak tidak betah di masjid.
“Di masjid anak-anak tidak hanya mengaji, tetapi juga kreatif berkarya. Kita yang mengajar jadi lebih kreatif lagi,” katanya Ileh Satria, saat di temui Padang Ekspres, Jumat (5/8).
Dalam pandangannya, akibat monotonnya acara wirid membuat remaja yang datang ke masjid atau mushala memikul beban di pundaknya. Padahal, di masjidlah sebenarnya banyak aktivitas bermanfaat bisa dilakukan. Maka, menurut Ileh, perlu cara ekstra agar anak-anak betah berlama-lama di masjid.
Sejak 2008 lalu, Ileh memang berupaya keras mendirikan wirid remaja mushala Shuwaru Hayat. Dia melihat ada banyak hal yang bisa dikembangkan seiring dengan dibentuknya Quran Learning Center (QLC) di mushala.
Dalam melaksanakan wirid remaja misalnya, Ileh tidak mau terpaku dengan kurikulum yang diberikan Pemko Padang saja. “Itu silabusnya terlalu umum. Juga dipelajari di Pesantren Ramadhan dan dipelajari pula di sekolah dalam mata pelajaran agama,” tutur Ileh.
Makanya, dia memilih menyusun sendiri silabus wirid remaja dengan mengangkat materi yang relevan dengan kondisi kekinian. “Anak-anak pasti lebih suka membahas hal-hal yang tengah hangat diperbincangkan. Dan, itu dikaitkan dengan isi Al Quran, karena dalam Quran semuanya ada dibahas sebagai rujukan. Nah, instruktur harus berpandai-pandai mengolah itu untuk dibahas bersama peserta didiknya,” kata Ileh.
Dalam praktik belajar mereka menggunakan sistem diskusi. Sistem ini memungkinkan siswa aktif memberi masukan. Selain belajar sekali seminggu setiap Sabtu, dia merancang berbagai kegiatan yang bisa diikuti peserta wirid remaja, seperti membentuk drum band wirid remaja masjid, seni beladiri taekwondo, dan aktif menulis dengan menerbitkan buletin dwi mingguan, Pijar.
“Paling asyik karena banyak kegiatan-kegiatannya. Saya paling suka kami bikin acara,” imbuh Iqbal Rusdan Arief, peserta wirid remaja yang termasuk aktif. Dia sudah akrab di sana sejak SD, ketika belajar di Taman Pendidikan Al Quran (TPA). Paling anyar, Iqbal bersama rekan-rekannya menggelar Liga Debat Wirid Remaja se Padang, bulan lalu.
Ileh membenarkan kegiatan semacam itu menjadi prioritas mereka. Menurutnya, kegiatan itu bertujuan membuat peserta didik tidak bosan dengan suguhan materi saja. Sebab, mereka butuh wahana untuk menyalurkan kreativitasnya.
Makanya setiap semester, Ileh mewajibkan peserta wirid remaja yang dilatih untuk menghasilkan karya seni. “Tidak dibatasi dalam bentuk apa. Yang penting mereka kerjakan. Sebab yang saya tekankan adalah kreativitas, agar mereka berani berkarya” katanya.
Selain itu, mengutamakan disiplin menjadi acuan dalam belajar. Mulai dari disiplin waktu, sampai disiplin berpakaian, dalam artian sopan. Baginya, disiplin adalah fondasi yang mesti ditegakkan kuat. Terutama untuk remaja.
Hasilnya, sejak Januari tahun ini, mereka rutin menerbitkan buletin Pijar. Isinya, kata Ileh, dikerjakan oleh anak didiknya. Mulai dari mengumpulkan bahan, proses layout, cetak, hingga mendistribusikan ke masjid dan mushala.
“Hanya saja, tanggapan dari pengurus masjid yang menerima kadang tidak mengenakkan bagi anak-anak. Ada yang menganggap buletin itu untuk bisnis, padahal per eksemplarnya mereka hanya diminta ongkos cetak Rp 200, tidak balik modal sebenarnya,” jelas Ileh.
Namun, semangat anak didiknya untuk berkarya membuat Ileh semakin tegar untuk terus membimbing mereka.
Setiap semester, peserta wirid remaja di mushala tersebut tidak banyak. Hanya dalam kisaran 20 sampai 25 orang saja. Setiap anak hanya dipungut bayaran Rp 25.000 per bulan untuk membayar gaji dua orang instruktur. “Saya tidak mengharapkan kuantitas. Biarlah sedikit, yang penting mereka mau belajar,” sebut Ileh.
Jika seluruh masjid dan mushala punya kegiatan seperti ini, rasanya, Padang di usianya yang ke 342 tahun, tak akan kehilangan harapan untuk generasi masa depannya.
Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu, 6 Agustus 2011
Oleh Heri Faisal
Remaja sepertinya luput dari perhatian kita bersama. Remaja lebih banyak dicaci atau dibilang tidak tahu adat, emoh ikuti agama, dll. Tapi, tak banyak yang mau terjun langsung membina generasi remaja. Jarang didengar Karang Taruna bergerak atau KNPI berbuat sesuatu untuk remaja.
Anak-anak wirid remaja mushala Shuwarul Hayat menunjukkan kreatifitas mereka dengan membuat buletin dwi mingguan Pijar, dan menggelar Liga Debat Wirid Remaja se Kota Padang. (f/padek)
Beda kiranya yang terjadi di Mushala Shuwarul Hayat. Wirid remaja digiatkan. Itu pun tak mengikuti aturan siapa pun. Pengurus di sana percaya dengan metode yang mereka punya. Ileh Satria, instruktur wirid, menilai sepinya kegiatan wirid remaja di masjid karena pengelolaan wirid remaja tanpa inovasi yang membuat anak-anak tidak betah di masjid.
“Di masjid anak-anak tidak hanya mengaji, tetapi juga kreatif berkarya. Kita yang mengajar jadi lebih kreatif lagi,” katanya Ileh Satria, saat di temui Padang Ekspres, Jumat (5/8).
Dalam pandangannya, akibat monotonnya acara wirid membuat remaja yang datang ke masjid atau mushala memikul beban di pundaknya. Padahal, di masjidlah sebenarnya banyak aktivitas bermanfaat bisa dilakukan. Maka, menurut Ileh, perlu cara ekstra agar anak-anak betah berlama-lama di masjid.
Sejak 2008 lalu, Ileh memang berupaya keras mendirikan wirid remaja mushala Shuwaru Hayat. Dia melihat ada banyak hal yang bisa dikembangkan seiring dengan dibentuknya Quran Learning Center (QLC) di mushala.
Dalam melaksanakan wirid remaja misalnya, Ileh tidak mau terpaku dengan kurikulum yang diberikan Pemko Padang saja. “Itu silabusnya terlalu umum. Juga dipelajari di Pesantren Ramadhan dan dipelajari pula di sekolah dalam mata pelajaran agama,” tutur Ileh.
Makanya, dia memilih menyusun sendiri silabus wirid remaja dengan mengangkat materi yang relevan dengan kondisi kekinian. “Anak-anak pasti lebih suka membahas hal-hal yang tengah hangat diperbincangkan. Dan, itu dikaitkan dengan isi Al Quran, karena dalam Quran semuanya ada dibahas sebagai rujukan. Nah, instruktur harus berpandai-pandai mengolah itu untuk dibahas bersama peserta didiknya,” kata Ileh.
Dalam praktik belajar mereka menggunakan sistem diskusi. Sistem ini memungkinkan siswa aktif memberi masukan. Selain belajar sekali seminggu setiap Sabtu, dia merancang berbagai kegiatan yang bisa diikuti peserta wirid remaja, seperti membentuk drum band wirid remaja masjid, seni beladiri taekwondo, dan aktif menulis dengan menerbitkan buletin dwi mingguan, Pijar.
“Paling asyik karena banyak kegiatan-kegiatannya. Saya paling suka kami bikin acara,” imbuh Iqbal Rusdan Arief, peserta wirid remaja yang termasuk aktif. Dia sudah akrab di sana sejak SD, ketika belajar di Taman Pendidikan Al Quran (TPA). Paling anyar, Iqbal bersama rekan-rekannya menggelar Liga Debat Wirid Remaja se Padang, bulan lalu.
“Alhamdulillah acaranya sukses. Walaupun sedikit mengecewakan karena dari hampir seratus undangan yang kami sebar, hanya sembilan masjid dan mushala yang mengirim utusan,” ujar pelajar kelas IX SMPN 1 Padang itu.
Ileh membenarkan kegiatan semacam itu menjadi prioritas mereka. Menurutnya, kegiatan itu bertujuan membuat peserta didik tidak bosan dengan suguhan materi saja. Sebab, mereka butuh wahana untuk menyalurkan kreativitasnya.
Makanya setiap semester, Ileh mewajibkan peserta wirid remaja yang dilatih untuk menghasilkan karya seni. “Tidak dibatasi dalam bentuk apa. Yang penting mereka kerjakan. Sebab yang saya tekankan adalah kreativitas, agar mereka berani berkarya” katanya.
Selain itu, mengutamakan disiplin menjadi acuan dalam belajar. Mulai dari disiplin waktu, sampai disiplin berpakaian, dalam artian sopan. Baginya, disiplin adalah fondasi yang mesti ditegakkan kuat. Terutama untuk remaja.
Hasilnya, sejak Januari tahun ini, mereka rutin menerbitkan buletin Pijar. Isinya, kata Ileh, dikerjakan oleh anak didiknya. Mulai dari mengumpulkan bahan, proses layout, cetak, hingga mendistribusikan ke masjid dan mushala.
“Hanya saja, tanggapan dari pengurus masjid yang menerima kadang tidak mengenakkan bagi anak-anak. Ada yang menganggap buletin itu untuk bisnis, padahal per eksemplarnya mereka hanya diminta ongkos cetak Rp 200, tidak balik modal sebenarnya,” jelas Ileh.
Namun, semangat anak didiknya untuk berkarya membuat Ileh semakin tegar untuk terus membimbing mereka.
Setiap semester, peserta wirid remaja di mushala tersebut tidak banyak. Hanya dalam kisaran 20 sampai 25 orang saja. Setiap anak hanya dipungut bayaran Rp 25.000 per bulan untuk membayar gaji dua orang instruktur. “Saya tidak mengharapkan kuantitas. Biarlah sedikit, yang penting mereka mau belajar,” sebut Ileh.
Jika seluruh masjid dan mushala punya kegiatan seperti ini, rasanya, Padang di usianya yang ke 342 tahun, tak akan kehilangan harapan untuk generasi masa depannya.
Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu, 6 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar