Oleh Heri Faisal
”Di luar, gaung teater Sumbar besar sekali. Tetapi, ketika sampai di sini, saya tidak menemukan ada festival teater atau sekolah teater,” kata Mahatma Muhammad, pendiri kelompok Teater Nan Tumpah mengomentari dunia teater di Padang kepada Padang Ekspres Kamis (28/7).
Kelompok Teater Nan Tumpah saat tampil di beberapa kesempatan. (f/padek)
Tahun lalu, setelah pulang dari Yogyakarta, dia bertekad membentuk kelompok teater yang bisa mewadahi aktivitas mahasiswa dalam berkarya. “Selama ini, kawan-kawan terbentur oleh senioritas yang berlaku di kampus jadi tak bisa maksimal dalam berkesenian. Lantas, kami memilih independent,” tuturnya.
Sebab, menurutnya, kelompok-kelompok atau unit kesenian di kampus menerapkan banyak aturan yang pada akhirnya menghambat kreativitas anggota-anggota baru. Padahal, banyak inspirasi yang bisa dikembangkan dan diekplorasi sendiri oleh yang baru-baru.
Setelah bertemu Yosefintya Shinta, mahasiswi Unand yang menggemari teater pada awal 2010, mereka mendirikan kelompok Teater Nan Tumpah. Kemudian menyusul bergabung rekan-rekan dari UNP, UBH, STIKIP, dan pelajar SMA sampai memiliki anggota 26 orang.
Nan Tumpah, kata Atma (panggilan Mahatma), menganut filosofi bahwa setiap mereka bebas mengekspresikan diri atau menumpahkan segala bentuk aspirasi seninya di panggung. “Kami tidak menganut konsep teater berat yang dicitrakan banyak orang. Teater kami tujuannya menghibur,” jelas mahasiswa STKIP PGRI itu.
Meski baru berusia setahun, Nan Tumpah sudah menunjukkan keseriusan mereka dengan menggelar beberapa kali pertunjukan. Pertama, mengangkat judul “Cinta Kelopak Mawar” yang dipentaskan di Teater Utama Taman Budaya (Tambud) Sumbar pada 9 Oktober 2010 lalu.
Kemudian, akhir Mei tahun ini mereka mementaskan dua karya “Cerita Kanak-kanak dari Dunia Kucing” dan “Opera Pekerja”.
“Antusiasme penonton lumayan besar untuk karya-karya kami. Apalagi, mayoritas anggota kelompok itu adalah mahasiswa tahun pertama dan anak SMA yang belum mengenal dunia teater. Konsepnya, kami di sini sama-sama belajar,” ujar mantan mahasiswa ISI Yogyakarta itu.
Tak hanya menggeluti seni teater, grup ini juga membentuk kelompok Tembang Puisi Nan Tumpah. “Itu karena puisi dan teater bisa dipadukan,” tambahnya. Makanya, pada 24 Mei lalu, mereka menggelar pesta puisi sekaligus meluncurkan antologi Tempurung Tengkurap, karya Mahatma Muhammad dan Youri Kayama.
Bahkan, lebih jauh, mereka membuat album tembang puisi yang diaransemen sendiri. Berisi 10 buah puisi dari antologi Tempurung Tengkurap dan beberapa puisi karya Taufik Ismail dan Goenawan Muhammad.
“Kami ingin Nan Tumpah menjadi grup seni yang tidak membatasi anggotanya. Kreativitas paling utama. Yang lebih penting, bertanggung jawab,” katanya. Maka tak heran, jika dalam keseharian mereka tidak memiliki pelatih, sebab mereka berlatih menerima masukan bersama. “Di sini, meski judulnya teater kami mempelajari semuanya, teater, musikalisasi puisi, pantomim, menulis naskah, berorganisasi, dan banyak lagi,” kata Ibel Santano menambahkan.
Soal pendanaan mereka ditalangi dengan uang sendiri, iuran setiap minggu. “Tidak ditentukan berapa besarnya, yang penting nyumbang,” kata Atma, yang juga aktif mengajar dramatisasi puisi di Rumah Puisi Taufik Ismail Padangpanjang. Namun, jika bikin acara besar, mereka ajukan proposal.
Dalam waktu dekat, grup ini akan tampil memainkan film operet di TVRI Sumbar. “Itu temanya nanti soal bulan Ramadhan. Kami juga belum menyelesaikan naskahnya,” ucap Atma. Selain itu, sekitar empat bulan lagi atau November ini, mereka akan mengikuti Festival Teater Remaja di Tambud. Teruslah berkreasi...
Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu, 30 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar