Oleh Heri Faisal
MENULIS, sesuatu yang
mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Ada ribuan mahasiswa yang
masuk perguruan tinggi favorit setiap tahun, tetapi tidak banyak dari
mereka menulis. Faktanya, banyak pengelola surat kabar mengeluh minimnya
tulisan dari para mahasiswa. Novelis, Ahmad Fuadi blak-blakan beri tips
menulis. Bagaimana ceritanya ?
Ahmad Fuadi saat menjadi pembicara dalam workshop menulis di Aula Kedokteran Unand (f/ sy ridwan)
Aula Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK Unand) di Jati, Minggu (1/4) penuh sesak. Ratusan mahasiswa dari berbagai jurusan dan perguruan tinggi di Padang tumpah ruah dalam ruang besar tersebut. Mereka antusias menanti penulis kondang yang tengah digemari sekarang, Ahmad Fuadi, penulis novel populer Negeri 5 Menara yang sudah difilmkan itu.
Menulis menjadi jalan hidup yang dipilih Fuadi, setelah menamatkan studinya di Universitas Padjadjaran (Unpad) beberapa tahun lalu. Mantan wartawan majalah Tempo dan radio Voice of America (VOA) itu, kini supersibuk setelah dua novelnya meledak alias best seller. Penulis Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna itu, kini harus keliling Indonesia meluncurkan film Negeri 5 Menara.
Dari wartawan (nonfiksi), novelis (fiksi), kini putra Bayur, Maninjau ini menjadi motivator andal. “Saya sudah pasang niat mewakafkan diri saya agar bermanfaat bagi orang lain. Saya ingat betul kata kiyai saya di Gontor (pesantren, red), sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” imbuh Ahmad Fuadi memotivasi ratusan peserta yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar se-Sumbar.
Hadir juga sebagai pembicara dalam Seminar dan Workshop West Sumatera Journalism Course 2012 di Aula FK Unand, yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Fakultas Kedokteran, Broca, itu adalah dosen jurnalistik dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Suleman Juned dan Wakil Pemimpin Redaksi Padang Ekspres Nashrian Bahzein.
Apa kiat menjadi seorang penulis? “Gampang saja, lakukan sekarang,” kata Ahmad Fuadi di hadapan ratusan mahasiswa yang mengikuti. Dia menyebut sebagai seorang intelektual, menulis sejatinya kewajiban yang harus ditunaikan. Tetapi di luar itu, sebagai mahasiswa, menulis bisa dijadikan profesi sampingan yang bisa menopang kebutuhan hidup.
Fuadi bercerita, sebagai anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, dia kerap kali memanfaatkan kemampuan menulis untuk mendapatkan tambahan uang saku. Hal itu dilakukan ketika masih menimba ilmu di perguruan tinggi. “Saya upayakan setiap minggu ada tulisan saya yang dimuat di koran. Honornya lumayan untuk biaya hidup selama kuliah,” katanya.
Menekuni profesi menulis juga menjanjikan. Ada banyak penulis yang hidup dengan menulis di berbagai media, hingga menjadi penulis novel. Apalagi ada banyak surat kabar yang menampung tulisan dari masyarakat umum dengan upah yang layak.
“Apa tidak menarik tuh. Apalagi mahasiswa yang memiliki basic keilmuan tersendiri, tentu memiliki banyak gagasan untuk dituangkan dalam tulisan. Seperti ilmu kedokteran pasti banyak yang bisa dituliskan,” sebut pria asal Bayur, Maninjau itu.
Nashrian Bahzein menambahkan, seorang dokter yang memiliki kemampuan menulis populer, sangat efektif dalam mengkampanyekan hidup sehat melalui upaya preventif pada masyarakat daripada ditulis dari seorang wartawan yang tidak memiliki disiplin ilmu kedokteran.
“Kemampuan menulis bukan saja domain
wartawan. Apa pun profesi, dituntut piawai dalam menulis. Kalau dokter,
jadilah dokter yang penulis sebagai ladang jihad dan dakwah. Kalau ahli
informatika teknologi, jadilah pakar IT yang penulis. Dan, seterusnya.
Sebab, pekerjaan menulis itu tanggung jawab kaum intelektual, terutama
orang kampus, dalam menyuarakan kepentingan saudara-saudara kita yang
tidak beruntung,” jelas Nashrian.
Keinginan untuk menulis di media massa, kata Metta, salah satu peserta seminar, sebenarnya ada. Tetapi, dia mengaku masih kesulitan dalam menulis, terutama merunutkan gagasan yang ingin disampaikan. “Sebenarnya ada ide, tetapi waktu menuliskannya malah stuck di tengah jalan. Akhirnya dicoret lagi, gitu terus,” kata mahasiswa Kedokteran Unand itu.
Nah, kebiasaan mengedit tulisan yang belum selesai itu, kata Fuadi, cara yang salah. “Tulis saja apa yang ingin disampaikan dulu. Kalau buntu berhenti, besok dilanjutkan lagi. Proses edit dilakukan setelah tulisan dianggap selesai. Saat menulis jangan dihantui oleh perasaan takut salah, biarkan saja mengalir dan biarkan huruf-huruf yang diketik salah,” jelasnya.
Fuadi mempunyai formula sebelum menulis dengan mengedepankan pertanyaan why (kenapa), what (apa), how (bagaimana), dan when (kapan). Why, pemahaman untuk apa kita menulis.
Kemudian what (apa), apa perlunya, urgensi, dan pentingnya hal tersebut ditulis. Lalu bagaimana menuliskannya. “Tentu dengan memahami materi apa akan dituliskan, bisa melalui bacaan dan riset,” katanya. Setelahnya menentukan kapan waktu yang dipilih untuk menulis. “Dan waktu menulis itu adalah sekarang, tidak bisa ditunda-tunda,” tukasnya.
Diterbitkan di harian Padang Ekspres, Senin 2 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar