Atmakusumah Astraatmadja |
Oleh Heri Faisal
“Pers Indonesia kebablasan ?”
Kening Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers berkerut mendapat pertanyaan dari satu jurnalis lokal Sumatera Barat menyangkut kondisi pers di Indonesia saat ini. “Saya kira pers kita masih jauh dari kebablasan,” katanya saat berceramah dalam pelatihan Advokat Berperspektif Pers yang digelar LBH Pers Padang di Campago Resort and Hotel, Bukittinggi Sabtu-Minggu (14-15/7) lalu.
Dia menyebut sebagian besar pers (media) Indonesia, terutama terbitan lokal masih memberikan porsi besar terhadap aktivitas kepala daerah yang cenderung berisi berita bermuatan positif. Hanya sedikit sekali ditemukan media lokal memberitakan secara kritis kebijakan pejabat daerahnya. Selebihnya, media berperan tak ubahnya koran humas pemerintah daerah.
Media dengan pemberitaan sedikit kritis mayoritas terbitan Jakarta. Jelas, kondisi itu tidak lepas dari sulitnya media daerah mendapatkan pasokan iklan mumpuni, serta harganya pun yang masih jauh dari standar Jakarta. Mau tidak mau iklan pariwara dengan menjalin hubungan dekat dengan pejabat daerah jadi prioritas. Imbasnya, media sulit kritis terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah daerah.
“Pers Indonesia kebablasan ?”
Kening Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers berkerut mendapat pertanyaan dari satu jurnalis lokal Sumatera Barat menyangkut kondisi pers di Indonesia saat ini. “Saya kira pers kita masih jauh dari kebablasan,” katanya saat berceramah dalam pelatihan Advokat Berperspektif Pers yang digelar LBH Pers Padang di Campago Resort and Hotel, Bukittinggi Sabtu-Minggu (14-15/7) lalu.
Dia menyebut sebagian besar pers (media) Indonesia, terutama terbitan lokal masih memberikan porsi besar terhadap aktivitas kepala daerah yang cenderung berisi berita bermuatan positif. Hanya sedikit sekali ditemukan media lokal memberitakan secara kritis kebijakan pejabat daerahnya. Selebihnya, media berperan tak ubahnya koran humas pemerintah daerah.
Media dengan pemberitaan sedikit kritis mayoritas terbitan Jakarta. Jelas, kondisi itu tidak lepas dari sulitnya media daerah mendapatkan pasokan iklan mumpuni, serta harganya pun yang masih jauh dari standar Jakarta. Mau tidak mau iklan pariwara dengan menjalin hubungan dekat dengan pejabat daerah jadi prioritas. Imbasnya, media sulit kritis terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah daerah.
Atmakusumah menilai belum ada indikator yang bisa jadi acuan pers Indonesia dianggap kebablasan dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Dibanding Negara maju dengan tradisi pers kuat, pers kita belum seberapa dalam mengkritisi pemerintah ataupun swasta.
Agaknya periode tangan besi yang mengontrol ketat arus pemberitaan selama orde baru masih menjadi rujukan sebagian besar pemegang kekuasaan dan masyarakat awam. Sehingga sedikit saja dikritisi, pers sudah dianggap kebablasan.
Masih Marak Kriminalisasi Pers
Anggapan pers bebas yang kebablasan ini dihadapi dengan maraknya kriminalisasi pers oleh pejabat dan aparat. Puluhan kasus kriminalisasi terhadap pekerja media terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Tak terkecuali di Sumatera Barat.
Selasa, 29 Mei lalu misalnya, tak kan mudah dilupakan pekerja media di Sumbar. Hari itu, puluhan oknum prajurit TNI Angkatan Laut memukuli dan merampas paksa kamera, kaset video, dan memori kamera jurnalis yang meliput di kawasan Bukitlampu, kelurahan Sungai Baremas, kecamatan Lubuk Begalung, Padang.
Aksi kekerasan itu melukai tujuh jurnalis, yaitu Budi Sunandar (jurnalis Global TV), Sy Ridwan (fotografer Padang Ekspres), Jamaldi (jurnalis Favorit TV), Andora Khew (jurnalis SCTV), Afriandi (jurnalis Metro TV), Julian (jurnalis Trans7), dan Deden (jurnalis Trans TV).
Para pelaku atau oknum TNI AL itu juga merusak peralatan kerja jurnalis yang sedang melakukan tugas liputan berkaitan dengan penertiban lokasi yang ditengarai tempat mesum di kawasan tersebut. Diduga, tempat mesum itu selama ini beroperasi dengan “dibekengi” oknum TNI AL di daerah itu. Atas kejadian tersebut 11 prajurit TNI AL ditahan.
Jurnais Global TV Budi Sunandar menjadi salah satu korban kebrutalan aparat TNI di Padang (f/ repro)
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang bersama Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) Sumbar dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar konsisten
mengadvokasi kejadian tersebut.
Tahun lalu, kekerasan terhadap pekerja media juga dilakukan oknum TNI AU yang menghalangi upaya jurnalis meliput peristiwa kecelakaan pesawat Aerosport di kawasan Bandar udara Tabing, Padang. Jurnalis dilarang mengabadikan foto kecelakaan dalam pameran pesawat tersebut.
Rendahnya Komitmen Media dan Integritas Jurnalis
Kekerasan yang dialami pekerja media tidak lepas dari klimaks kekesalan sebagian pihak terhadap “jurnalis nakal”. Di Sumbar, jumlahnya bisa jadi sepuluh kali lebih banyak dari jurnalis yang tergabung di organisasi resmi.
Catatan AJI Padang, di Sumbar hanya ada tujuh terbitan harian, Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Posmetro Padang, Koran Padang, Rakyat Sumbar, dan Inter Pos. Sementara itu terbitan mingguan mencapai 50 lebih, dengan kantor redaksi dan keberadaan jurnalis yang kebanyakan tidak jelas.
Bahkan beberapa terbitan mingguan hanya terbit pada momen-momen tertentu. Misalnya, menjelang pemilihan kepala daerah. Biasanya, pada saat semacam itu muncul pula jurnalis dadakan yang menyerbu kantong-kantong potensial iklan (pariwara). Umumnya yang menjadi incaran mereka adalah politisi parpol yang berjuang menuju kursi kepala daerah. Tak jarang, pemerasan dilakukan oknum “jurnalis nakal” ini.
Di luar itu, komitmen media lokal untuk mensejahterakan jurnalis sangat lemah. Dari tujuh terbitan harian di Sumbar baru Haluan, Singgalang, dan Padang Ekspres yang menggaji jurnalisnya dengan standar Upah Minimum Regional (UMR). UMR/UMP Sumbar untuk tahun 2011 sebesar Rp 1.150.000,-
Padahal sejak 2009, AJI Padang sudah mengeluarkan upah layak jurnalis di Sumbar sebesar Rp 2.950.000,-. Nilai tersebut mengacu pada kebutuhan pokok perorangan di Sumbar. “Nominal sebesar itu untuk jurnalis bujangan, kalau sudah berumah tangga mestinya lebih. AJI mematok angka minimal,” kata Hendra Makmur, ketua AJI Padang dalam beberapa kesempatan.
Beberapa media, terutama tiga nama di atas, secara financial mampu membayar jurnalis dengan standar upah minimal yang dirilis AJI. Namun, tidak adanya serikat pekerja di masing-masing perusahaan media membuat posisi tawar jurnalis lemah di hadapan pemilik media. Sehingga mayoritas jurnalis manut dengan bayaran seadanya. Yang kritis terhadap perusahaan lebih memilih mundur bahkan secara sengaja dikucilkan, dan ada pula yang didepak dari perusahaan.
Dari pengalaman saya bekerja di salah satu harian lokal milik Jawa Pos Grup dan diskusi sesama jurnalis, umumnya jurnalis di Sumbar terutama yang baru bergabung di media banyak yang dibayar di bawah UMR.
Tetapi untuk menutupi bayaran yang rendah, mayoritas redaksi harian di Sumbar mengizinkan jurnalisnya mencari iklan sebagai pendapatan tambahan. Bahkan menerima amplop dan pemberian lain dari narasumber pun juga dihalalkan.
Tak jarang, media membebankan target iklan kepada jurnalisnya. Uniknya lagi, pemilihan karyawan (jurnalis) terbaik justru dinilai dari banyaknya iklan (pariwara) atau besaran omzet yang diberikan ke perusahaan.
Kalau sudah demikian, akan seperti apa berita yang ditulis oleh jurnalis. Apalagi jika berita menyangkut klien yang memberikan iklan. Kita semua paham, masyarakat lah yang dirugikan di sini.
Saya jadi bergidik kalau mengingat All The President’s Men yang ditulis duo jurnalis The Whasington Post, Carl Berstein dan Bob Woodward. Chaterine Graham (pemilik Post) dengan teguh mangatakan siap dipenjara pertama jika menyangkut kebenaran yang ditulis jurnalisnya. Adakah pemilik media di Indonesia seteguh itu ? Saya kira kita (baca: pemilik media di Indonesia) lebih takut pada kekuasaan, atau takut bisnisnya terkapar.
Di Sumbar, kampanye menyangkut integritas jurnalis dan komitmen media memberikan upah layak sangat jarang dilakukan. Baru AJI Padang yang giat melakukan diskusi-diskusi dan menggelar seminar serupa.
Tahun lalu, kekerasan terhadap pekerja media juga dilakukan oknum TNI AU yang menghalangi upaya jurnalis meliput peristiwa kecelakaan pesawat Aerosport di kawasan Bandar udara Tabing, Padang. Jurnalis dilarang mengabadikan foto kecelakaan dalam pameran pesawat tersebut.
Rendahnya Komitmen Media dan Integritas Jurnalis
Kekerasan yang dialami pekerja media tidak lepas dari klimaks kekesalan sebagian pihak terhadap “jurnalis nakal”. Di Sumbar, jumlahnya bisa jadi sepuluh kali lebih banyak dari jurnalis yang tergabung di organisasi resmi.
Catatan AJI Padang, di Sumbar hanya ada tujuh terbitan harian, Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Posmetro Padang, Koran Padang, Rakyat Sumbar, dan Inter Pos. Sementara itu terbitan mingguan mencapai 50 lebih, dengan kantor redaksi dan keberadaan jurnalis yang kebanyakan tidak jelas.
Bahkan beberapa terbitan mingguan hanya terbit pada momen-momen tertentu. Misalnya, menjelang pemilihan kepala daerah. Biasanya, pada saat semacam itu muncul pula jurnalis dadakan yang menyerbu kantong-kantong potensial iklan (pariwara). Umumnya yang menjadi incaran mereka adalah politisi parpol yang berjuang menuju kursi kepala daerah. Tak jarang, pemerasan dilakukan oknum “jurnalis nakal” ini.
Di luar itu, komitmen media lokal untuk mensejahterakan jurnalis sangat lemah. Dari tujuh terbitan harian di Sumbar baru Haluan, Singgalang, dan Padang Ekspres yang menggaji jurnalisnya dengan standar Upah Minimum Regional (UMR). UMR/UMP Sumbar untuk tahun 2011 sebesar Rp 1.150.000,-
Padahal sejak 2009, AJI Padang sudah mengeluarkan upah layak jurnalis di Sumbar sebesar Rp 2.950.000,-. Nilai tersebut mengacu pada kebutuhan pokok perorangan di Sumbar. “Nominal sebesar itu untuk jurnalis bujangan, kalau sudah berumah tangga mestinya lebih. AJI mematok angka minimal,” kata Hendra Makmur, ketua AJI Padang dalam beberapa kesempatan.
Beberapa media, terutama tiga nama di atas, secara financial mampu membayar jurnalis dengan standar upah minimal yang dirilis AJI. Namun, tidak adanya serikat pekerja di masing-masing perusahaan media membuat posisi tawar jurnalis lemah di hadapan pemilik media. Sehingga mayoritas jurnalis manut dengan bayaran seadanya. Yang kritis terhadap perusahaan lebih memilih mundur bahkan secara sengaja dikucilkan, dan ada pula yang didepak dari perusahaan.
Dari pengalaman saya bekerja di salah satu harian lokal milik Jawa Pos Grup dan diskusi sesama jurnalis, umumnya jurnalis di Sumbar terutama yang baru bergabung di media banyak yang dibayar di bawah UMR.
Tetapi untuk menutupi bayaran yang rendah, mayoritas redaksi harian di Sumbar mengizinkan jurnalisnya mencari iklan sebagai pendapatan tambahan. Bahkan menerima amplop dan pemberian lain dari narasumber pun juga dihalalkan.
Tak jarang, media membebankan target iklan kepada jurnalisnya. Uniknya lagi, pemilihan karyawan (jurnalis) terbaik justru dinilai dari banyaknya iklan (pariwara) atau besaran omzet yang diberikan ke perusahaan.
Kalau sudah demikian, akan seperti apa berita yang ditulis oleh jurnalis. Apalagi jika berita menyangkut klien yang memberikan iklan. Kita semua paham, masyarakat lah yang dirugikan di sini.
Saya jadi bergidik kalau mengingat All The President’s Men yang ditulis duo jurnalis The Whasington Post, Carl Berstein dan Bob Woodward. Chaterine Graham (pemilik Post) dengan teguh mangatakan siap dipenjara pertama jika menyangkut kebenaran yang ditulis jurnalisnya. Adakah pemilik media di Indonesia seteguh itu ? Saya kira kita (baca: pemilik media di Indonesia) lebih takut pada kekuasaan, atau takut bisnisnya terkapar.
Di Sumbar, kampanye menyangkut integritas jurnalis dan komitmen media memberikan upah layak sangat jarang dilakukan. Baru AJI Padang yang giat melakukan diskusi-diskusi dan menggelar seminar serupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar