Memahami Anak Berkebutuhan Khusus
Oleh Heri Faisal
Mengatasi perilaku anak
berkebutuhan khusus (autistic, ADHD, lambat bicara, dan celebral palsy)
memang tidak mudah. Apalagi, kalau sudah melewati masa pubertas,
bermacam perangai ditunjukkan anak-anak dengan kebutuhan khusus
tersebut. Jika tak dikontrol dengan terapi ketat, pelampiasan pubertas
tidak terarah. Bagaimana mengatasinya ?
Dokter anak, Purboyo Solek menyampaikan materi bagaimana mengatasi anak berkebutuhan khusus (ABK) saat memasuki masa pubertas (f/ sy ridwan)
PARA orangtua belum
banyak memahami seperti apa kondisi anak-anaknya. Terutama memiliki
kebutuhan khusus. Jangankan untuk menyekolahkan di sekolah khusus sesuai
kebutuhannya, mengetahui kekurangan anak saja masih banyak orangtua
awam. Akibatnya, sering kali perilaku anak dengan kebutuhan tersebut
tidak terkontrol dengan baik.
Terutama untuk mereka yang dikategorikan autis, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), kelambatan bicara, dan celebral palsy atau gangguan fungsi otak dan jaringan saraf. Kalau tidak diberikan pendidikan sesuai, perilaku mereka acap kali nyeleneh dan tidak sesuai harapan.
Misalnya saja saat menginjak usia remaja (pubertas), naluri seks mereka yang sudah terbentuk mengikuti umur bisa tidak tersalurkan dengan baik. Bahkan, cenderung mengarah ke tindakan abnormal jika tidak dikontrol.
“Hal itu lumrah, karena sebatas itu kemampuan mereka. Sementara naluri seks tetap tumbuh mengikuti usia mereka,” kata dokter anak, Purboyo Solek kepada Padang Ekspres di Rocky Hotel, kemarin (13/3).
Makanya, kata dia, pendidikan khusus diperlukan untuk anak-anak tersebut. Jika tidak akibatnya bisa fatal. Dia mencontohkan anak-anak dengan kebutuhan khusus yang dia terapi. Perilaku mereka saat menginjak usia remaja beragam.
Dia mencontohkan salah satu pasiennya, bahkan ada yang sampai mengejar-ngejar ibunya untuk melampiaskan nafsu seksnya yang tengah memuncak. “Nah, kalau yang seperti itu dibiarkan bisa fatal,” kata dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu.
Anak-anak dengan kebutuhan khusus, perlu pengajaran dan pengawasan khusus pula. Pendidikan seks perlu diajarkan sejak dini agar tidak salah langkah. Karena anak-anak dengan kebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam komunikasi dan sosialita di masyarakat.
Menurut Purboyo, pertumbuhan organ seks anak-anak normal dengan anak berkebutuhan khusus sama saja. Yakni, perempuan dalam rentang usia 9-13 tahun dan pria dalam usia 12-13 tahun. Yang menjadi pembeda, bagaimana mereka melampiaskan hasrat yang mereka miliki. “Cara-cara itu yang harus diajarkan sejak dini, agar tidak merugikan diri mereka sendiri dan orang lain,” ulasnya.
Pengawas Pendidikan Luar Biasa (PLB) Dinas Pendidikan Sumbar, Desriyeni mengakui perilaku semacam itu banyak ditemui pada anak berkebutuhan khusus. “Saya pernah mengajar di SLB, memang seperti itulah mereka. Jadi perlu kontrol terus-menerus, dan memberi pemahaman kepada mereka mana yang dilarang dan mana yang diizinkan,” jelasnya.
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus tidak cukup hanya mengandalkan peran guru di sekolah saja. Tetapi, harus melibatkan orangtua, karena waktu bermain anak justru lebih banyak dihabiskan di rumah. Karena itu, sinergisitas antara sekolah dan guru sangat diperlukan untuk pengembangan karakter mereka.
Menurut Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia, Kristiantini Dewi sistem pendidikan inklusi yang dikembangkan pemerintah saat ini belum berpengaruh terhadap perkembangan anak dengan kebutuhan khusus.
“Karena niat mensejajarkan pendidikan ini belum sesuai dengan fasilitas yang disediakan di sekolah. Kualitas kita untuk menyediakan inklusi di sekolah umum belum siap,” katanya.
Dia lebih setuju pendidikan untuk anak dengan kebutuhan khusus memiliki tempat dan fasilitas sendiri. Dengan begitu, mudah dipantau dan memberikan pendidikan maksimal kepada mereka.
Dia mencontohkan anak yang mengalami disleksia (kesulitan menangkap pelajar tertentu, membaca menulis dan berhitung) perlu dipisahkan dengan anak-anak normal yang lain. “Mereka itu kekurangan walau tidak cacat secara fisik,” katanya.
Upaya memberi pendidikan kepada anak dengan kemampuan demikian, sudah mulai tumbuh. Di Padang, sudah berdiri sekolah autis Yayasan Mitra Amanda di Jalan Jhoni Anwar, Lapai yang menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus.
“Kami terima mulai usia dua tahun hingga mereka siap untuk mengikuti pendidikan setingkat sekolah dasar,” kata kepala sekolah tersebut, Nadianto kepada Padang Ekspres kemarin.
Di sekolah tersebut diterima siswa dengan kekurangan seperti autis, ADHD, Cerebral Palsy, lambat bicara, dan kesulitan dalam belajar. Untuk pola pengajaran sekolah yang sudah berdiri sejak enam tahun lalu itu memprogramkan satu siswa satu guru.
“Jadi siswa memang mendapat pendidikan yang maksimal,” katanya. Dia berharap kesertaan orang tua dalam pendidikan anaknya, terutama dengan kebutuhan khusus sangat diperlukan.
Diterbitkan di harian Padang Ekspres, Rabu 14 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar