Oleh Heri Faisal
Tomi Halnandes, ketua Kelompok Seni Berjalan (KSBJ) Trotoart saat dijambangi Padang Ekspres melihat seni rupa kebanyakan digelar di ruang tertutup, di galery atau di ruang pameran yang indah. Artinya, kalaupun bukan dari kalangan berada, penikmat biasanya datang dari mereka yang mengerti seni.
Makanya, Tomi dan rekan-rekannya bertekad, seni juga harus dinikmati oleh masyarakat luas tanpa batas. Itu pula yang menjadi dasar mereka mendirikan Trotoart, Februari tahun lalu. Meski awalnya hanya sebagai tempat kongkow teman sepermainan. Tapi dalam perjalanannya, mereka banyak bersentuhan dengan sisi-sisi kemanusiaan.
Seperti saat longsor di Tanjung Sani, Kabupaten Agam, tahun lalu, mereka pun datang ke lokasi dan menggelar pameran serta berinteraksi membantu masyarakat setempat. “Kebetulan Bali International School bantu dana. Kami yang melaksanakan kegiatan,” sebutnya.
Mereka juga membuat berbagai program untuk anak-anak setempat, seperti melukis, membuat mainan dan sebagainya. Sedikit banyak kegiatan Trotoart mampu membantu anak-anak melepaskan trauma terhadap bencana longsong di kawasan itu.
Tampil di kegiatan amal memang bukan barang baru bagi kelompok ini. Mereka juga aktif menggelar pameran untuk menggalang dana bagi korban tsunami Mentawai, Oktober tahun lalu misalnya. Membuat mural (lukisan dinding) dengan tema siaga bencana dalam program Australian Indonesia Facility for Disester Reduction (AIFDR) untuk pembangunan rumah aman gempa di beberapa kelurahan di Sumbar.
“Dengan terlibat di kegiatan itu kami juga dapat dana. Dana itulah yang kami gunakan untuk seluruh kegiatan Trotoart, termasuk membeli peralatan lukis. Berkesenian itu kan mahal, maka kami juga terima orderan membuat karya seni sesuai kemampuan kami,” jelas Sontri Doni.
Selain itu, tentu saja mereka menggelar pameran-pameran bebas. “Yang jelas Trotoart tidak seperti organisasi kampus kebanyakan. Meski ada ketua, namun yang kerja kami semua,” kata Dira Zahara menambahkan. Trotoart katanya adalah tempat mereka kumpul bersama, diskusi, dan menghasilkan karya.
Nama Trotoart sendiri diilhami dari jalan yang digunakan oleh pejalan kaki. “Jadi bisa diartikan seni jalanan,” sebut mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP) itu.
Mereka pun kerap kali menggelar pameran di jalanan atau tempat seadanya yang bisa dijadikan untuk pameran. “Justru pameran di jalanan ini yang benar-benar menuntut ketahanan mental. Yang menjadi pengunjungnya adalah masyarakat umum, kebanyakan awam. Jadi kita harus bisa menjelaskan dengan bahasa mereka,” kata Tomi.
Berbeda jika pameran digelar di gallery atau di ruang tertutup. Pengunjung yang datang rata-rata memposisikan dirinya mengerti seni.
Makanya, mereka tidak pernah memfokuskan diri menggeluti satu bidang seni secara khusus. Mereka ingin berkesenian secara bebas dan menyampaikan pula hasil karyanya ke masyarakat.
Anggota Trotoart rata-rata adalah mahasiswa Seni Rupa. “Bukan bermaksud mengucilkan yang lain, namun saat ini anggotanya adalah anak-anak Seni Rupa karena awalnya memang teman-teman sepermainan dan seide. Kalau ada yang seide dengan kita silakan bergabung, kami tidak menutup diri,” jelasnya.
Kesan seni rupa yang cenderung mewah dan elite, dipatahkan Kelompok Seni Berjalan (KSBJ) Trotoart. Cita-cita mereka cuma satu: membawa seni sampai ke “jantung” masyarakat. Artinya, tidak hanya akan berkesenian sampai ke pelosok-pelosok, tetapi juga akan membuat masyarakat mengerti dengan seni yang mereka bawakan.
Anak-anak Trotoart sibuk menghasilkan karya (f/sy ridwan)
Tomi Halnandes, ketua Kelompok Seni Berjalan (KSBJ) Trotoart saat dijambangi Padang Ekspres melihat seni rupa kebanyakan digelar di ruang tertutup, di galery atau di ruang pameran yang indah. Artinya, kalaupun bukan dari kalangan berada, penikmat biasanya datang dari mereka yang mengerti seni.
Makanya, Tomi dan rekan-rekannya bertekad, seni juga harus dinikmati oleh masyarakat luas tanpa batas. Itu pula yang menjadi dasar mereka mendirikan Trotoart, Februari tahun lalu. Meski awalnya hanya sebagai tempat kongkow teman sepermainan. Tapi dalam perjalanannya, mereka banyak bersentuhan dengan sisi-sisi kemanusiaan.
Seperti saat longsor di Tanjung Sani, Kabupaten Agam, tahun lalu, mereka pun datang ke lokasi dan menggelar pameran serta berinteraksi membantu masyarakat setempat. “Kebetulan Bali International School bantu dana. Kami yang melaksanakan kegiatan,” sebutnya.
Mereka juga membuat berbagai program untuk anak-anak setempat, seperti melukis, membuat mainan dan sebagainya. Sedikit banyak kegiatan Trotoart mampu membantu anak-anak melepaskan trauma terhadap bencana longsong di kawasan itu.
Tampil di kegiatan amal memang bukan barang baru bagi kelompok ini. Mereka juga aktif menggelar pameran untuk menggalang dana bagi korban tsunami Mentawai, Oktober tahun lalu misalnya. Membuat mural (lukisan dinding) dengan tema siaga bencana dalam program Australian Indonesia Facility for Disester Reduction (AIFDR) untuk pembangunan rumah aman gempa di beberapa kelurahan di Sumbar.
“Dengan terlibat di kegiatan itu kami juga dapat dana. Dana itulah yang kami gunakan untuk seluruh kegiatan Trotoart, termasuk membeli peralatan lukis. Berkesenian itu kan mahal, maka kami juga terima orderan membuat karya seni sesuai kemampuan kami,” jelas Sontri Doni.
Selain itu, tentu saja mereka menggelar pameran-pameran bebas. “Yang jelas Trotoart tidak seperti organisasi kampus kebanyakan. Meski ada ketua, namun yang kerja kami semua,” kata Dira Zahara menambahkan. Trotoart katanya adalah tempat mereka kumpul bersama, diskusi, dan menghasilkan karya.
Nama Trotoart sendiri diilhami dari jalan yang digunakan oleh pejalan kaki. “Jadi bisa diartikan seni jalanan,” sebut mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP) itu.
Mereka pun kerap kali menggelar pameran di jalanan atau tempat seadanya yang bisa dijadikan untuk pameran. “Justru pameran di jalanan ini yang benar-benar menuntut ketahanan mental. Yang menjadi pengunjungnya adalah masyarakat umum, kebanyakan awam. Jadi kita harus bisa menjelaskan dengan bahasa mereka,” kata Tomi.
Berbeda jika pameran digelar di gallery atau di ruang tertutup. Pengunjung yang datang rata-rata memposisikan dirinya mengerti seni.
Bertempat di Jalan Bhayangkara, Dadok, Tunggulhitam, anak-anak Trotoart menghasilkan banyak karya, seperti lukisan, patung, foto, tois (mainan),karya desain, dan macam-macam. “Apa pun asal itu sebuah karya seni kami tampung di sini, asal bisa dipamerkan,” lanjut Tomi.
Makanya, mereka tidak pernah memfokuskan diri menggeluti satu bidang seni secara khusus. Mereka ingin berkesenian secara bebas dan menyampaikan pula hasil karyanya ke masyarakat.
Anggota Trotoart rata-rata adalah mahasiswa Seni Rupa. “Bukan bermaksud mengucilkan yang lain, namun saat ini anggotanya adalah anak-anak Seni Rupa karena awalnya memang teman-teman sepermainan dan seide. Kalau ada yang seide dengan kita silakan bergabung, kami tidak menutup diri,” jelasnya.
Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu 24 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar