Wirid Remaja Mushala Al Furqan
Oleh Heri Faisal
Meski liga digelar malam minggu, dan kantuk mengganggu, wajah imut Tari Azyafi, Camelia Permata Sari, dan Syarah Affianti tetap berseri untuk adu wawasan. “Soal-soalnya nggak ada dipelajari di wirid remaja. Itu pengetahuan kita saja,” kata Tari kepada Padang Ekspres beberapa waktu lalu.
Ketiganya mewakili mushala Al Furqan mengikuti liga debat yang digagas Quran Learning Center, mushala Syuwarul Hayat. Untuk bisa menang mereka tidak berlatih keras, cukup menambah terkait tema-tema yang dilombakan dengan membaca dan mencari referensi di internet.
Elliza, pembina wirid remaja Mushala Al Furqan, mengaku ketiga anak didiknya terhitung cerdas. Tak heran, mereka menjadi juara satu pada liga debat tersebut. “Tidak ada persiapan khusus. Mereka memang sudah pintar di sekolahnya. Saya tinggal motivasi saja,” katanya.
Tari yang sekolah di SMA Don Bosco memang sudah terbiasa mengikuti debat. Jadi, tidak canggung lagi ketika tampil di arena tersebut. Begitupun Camelia dan Syarah. Meski bukan tim debat di sekolahnya, SMAN 9 Padang, keduanya punya wawasan yang luas soal budaya, adat dan agama.
Seperti kasus pemberian gelar adat kepada orang asing, misalnya. Camelia mengatakan, secara adat itu salah, karena menurutnya yang pantas menerima gelar adat hanya orang asli Minangkabau dan beragama Islam. Menghormati orang asing boleh dilakukan, ada banyak cara, namun tetap menjaga aura adat.
Di Mushala Al Furqan, Elliza tak banyak memberikan aturan kepada anak didiknya. Disiplin tetap dan tegas diberlakukan, namun disesuaikan dengan kebutuhan anak. Seperti peraturan absensi siswa dalam mengikuti wirid remaja. Tiga kali tidak masuk, orangtua siswa yang bersangkutan akan dipanggil. Jika tidak diindahkan, siswa boleh keluar dan memilih wirid remaja di masjid lain.
“Saya konsekuen mengikuti kurikulum yang sudah disusun Pemko. Disiplin tetap ditegakkan. Terutama pakaian dan sopan santun mereka. Selebihnya saya berikan kebebasan mereka berkreasi. Yang jelas, kalau dilakukan untuk kegiatan positif, kita orangtua pasti mendukung,” sebutnya.
Seperti penggunaan internet misalnya, Elliza justru menyebut lebih banyak manfaat positif dari pada negatifnya. “Kuncinya adalah bagaimana menanamkan kebiasan positif kepada mereka. Kalau kebiasaan itu sudah tertanam dengan baik, orangtua tidak perlu khawatir terhadap pergaulan anaknya,” papar penyuluh agama di Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumbar itu.
Di bawah pimpinannya, siswa yang mengikuti wirid remaja di mushala tersebut cukup membayar Rp 5.000 per bulan untuk membayar honor pemateri wirid. Sebab, setiap kali pertemuan, mereka mendatangkan ustad sesuai permintaan siswanya.
Selain wirid rutin, mengaji juga menjadi prioritas utama yang dikembangkan Elliza. “Saya takut anak-anak ini tidak bisa mengaji, makanya saya paksa mereka baca Al Quran. Saya ingin timbulkan perasaan malu dalam diri mereka jika tidak pandai mengaji,” katanya.
Diterbitkan di Padang Ekspres Sabtu, 27 Agustus 2011
Oleh Heri Faisal
Ketiga pelajar SMA ini dengan antusias menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang yang diajukan dewan juri dalam Liga Debat Wirid Remaja Masjid/Mushala se Padang sejak 26 Maret hingga 16 juli lalu. Tema budaya, adat, dan agama mereka lahap tuntas tanpa tersisa. Satu per satu lawan pun tersingkir di arena adu cerdas itu.
Camelia Permata Sari, Tari Azyaffi, dan Syarah Affianti didampingi Pembinanya Elliza di mushalla Al Furqan (f/sy ridwan)
Meski liga digelar malam minggu, dan kantuk mengganggu, wajah imut Tari Azyafi, Camelia Permata Sari, dan Syarah Affianti tetap berseri untuk adu wawasan. “Soal-soalnya nggak ada dipelajari di wirid remaja. Itu pengetahuan kita saja,” kata Tari kepada Padang Ekspres beberapa waktu lalu.
Ketiganya mewakili mushala Al Furqan mengikuti liga debat yang digagas Quran Learning Center, mushala Syuwarul Hayat. Untuk bisa menang mereka tidak berlatih keras, cukup menambah terkait tema-tema yang dilombakan dengan membaca dan mencari referensi di internet.
Elliza, pembina wirid remaja Mushala Al Furqan, mengaku ketiga anak didiknya terhitung cerdas. Tak heran, mereka menjadi juara satu pada liga debat tersebut. “Tidak ada persiapan khusus. Mereka memang sudah pintar di sekolahnya. Saya tinggal motivasi saja,” katanya.
Tari yang sekolah di SMA Don Bosco memang sudah terbiasa mengikuti debat. Jadi, tidak canggung lagi ketika tampil di arena tersebut. Begitupun Camelia dan Syarah. Meski bukan tim debat di sekolahnya, SMAN 9 Padang, keduanya punya wawasan yang luas soal budaya, adat dan agama.
Seperti kasus pemberian gelar adat kepada orang asing, misalnya. Camelia mengatakan, secara adat itu salah, karena menurutnya yang pantas menerima gelar adat hanya orang asli Minangkabau dan beragama Islam. Menghormati orang asing boleh dilakukan, ada banyak cara, namun tetap menjaga aura adat.
Di Mushala Al Furqan, Elliza tak banyak memberikan aturan kepada anak didiknya. Disiplin tetap dan tegas diberlakukan, namun disesuaikan dengan kebutuhan anak. Seperti peraturan absensi siswa dalam mengikuti wirid remaja. Tiga kali tidak masuk, orangtua siswa yang bersangkutan akan dipanggil. Jika tidak diindahkan, siswa boleh keluar dan memilih wirid remaja di masjid lain.
“Saya konsekuen mengikuti kurikulum yang sudah disusun Pemko. Disiplin tetap ditegakkan. Terutama pakaian dan sopan santun mereka. Selebihnya saya berikan kebebasan mereka berkreasi. Yang jelas, kalau dilakukan untuk kegiatan positif, kita orangtua pasti mendukung,” sebutnya.
Seperti penggunaan internet misalnya, Elliza justru menyebut lebih banyak manfaat positif dari pada negatifnya. “Kuncinya adalah bagaimana menanamkan kebiasan positif kepada mereka. Kalau kebiasaan itu sudah tertanam dengan baik, orangtua tidak perlu khawatir terhadap pergaulan anaknya,” papar penyuluh agama di Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumbar itu.
Di bawah pimpinannya, siswa yang mengikuti wirid remaja di mushala tersebut cukup membayar Rp 5.000 per bulan untuk membayar honor pemateri wirid. Sebab, setiap kali pertemuan, mereka mendatangkan ustad sesuai permintaan siswanya.
Selain wirid rutin, mengaji juga menjadi prioritas utama yang dikembangkan Elliza. “Saya takut anak-anak ini tidak bisa mengaji, makanya saya paksa mereka baca Al Quran. Saya ingin timbulkan perasaan malu dalam diri mereka jika tidak pandai mengaji,” katanya.
Diterbitkan di Padang Ekspres Sabtu, 27 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar