Senin, 25 Oktober 2010

Berharap Bulutangkis Bangkit


Oleh Heri Faisal

              Gelaran Asian Games ke 16 di Guangzhou, China tinggal hitungan hari saja. Kita berharap kontingen Indonesia setidaknya mampu menyamai pencapaian di Asian Games Doha, Qatar 2006 lalu dengan dua emas, tiga perak, dan 16 perunggu. Kita pasti ingin lebih. Tapi tentu tergantung bagaimana kinerja atlet di arena nanti. Bulutangkis menjadi cabang yang paling dinanti dan mendapat sorotan. 

 Permainan Taufik Hidayat sudah semakin lambat karena usia. Butuh percepatan regenerasi (repro)

              Akhir-akhir ini memang, masyarakat pecinta bulutangkis nasional bisa dibilang gerah melihat prestasi Taufik Hidayat cs di kancah internasional. Sulit sekali berharap jagoan kita mampu dengan mudah menundukkan Lin Dan atau pun Lee Chong Wei. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kita justru dengan mudah dikalahkan China.
             Dulu kita ingat, sejak Indonesia pertama kali ikut serta dalam kejuaraan bulutangkis internasional di pertengahan 1960-an, atlet Indonesia langsung unjuk kebolehan dengan tampil di jajaran elit bersanding dengan United State, Denmark, dan Jepang. All England yang melegenda itu bahkan bisa disebut kejuaraan untuk pebulutangkis Indonesia. Ya maklum saja nama-nama seperti Rudi Hartono, Liem Swie King hingga Taufik Hidayat mengakar dari sana. 


 Sonny Dwi Kuncoro belum mampu mengemban tugas sebagai suksesor Taufik. Penampilannya selalu menimbulkan tanda tanya, sering tak konsisten (repro)

             Di bagian putri pun tak jauh beda. Saat dipertandingkan untuk pertama kalinya di Olimpiade Barcelona 1992, Susi Susanti menjadi atlet pertama peraih emas bulutangkis di Olimpiade. Kebanggaan itu lebih terasa ketika Alan Budikusuma juga menggondol emas di bagian putra. Hampir semua kejuaraan bulutangkis kelas atas mencatat nama Indonesia dalam daftar pemenangnya.

  Markis Kido dan Hendra Setiawan punya bukti mampu menghentikan dominasi China. Di Olympiade Beijing 2008 lalu, pasangan ini mengalahkan Cai Yun dan Fu Haifeng di final (repro)

            Perlahan-lahan setelah Susi Susanti di bagian putri gantung raket, praktis tak ada lagi pebulutangkis putri Indonesia mencuat di kancah internasional. Mia Audina bahkan memilih berseragam Belanda dari pada tak jelas nasibnya di merah putih. Di bagian putra Taufik Hidayat terus menjaga tradisi tunggal sampai ia terlihat benar-benar lamban belakangan ini.
             Era keemasan bulutangkis Indonesia kini boleh disebut mati suri. Setelah Taufik Hidayat menua tak ada lagi nama sepadan yang mampu mengambil alih perannya. Kita pernah berharap Sonny Dwi Kuncoro mampu mengemban tugas itu. Tapi maaf kata permainannya terus tak konsisten dan selalu angin-anginan. Di ajang Indonesia Open Grand Prix Gold di Samarinda bulan ini, ia bahkan takluk dengan mudah di tangan pebulutangkis tak ternama.
             Simon Santoso atau Dionysius Hayom Rumbaka belum cukup matang untuk disandingkan dengan Lin Dan, Lee Chong Wei, atau Lee Young Dae yang mencuat dari Korea itu. Lalu akankah kita terus berharap pada cabang olahraga ini ? 
 
 Asian Games ke 16 di Guangzhou, China, PB PBSI hanya menargetkan satu emas. Apakah Djoko Santoso (ketiga dari kanan) takut bermimpi ? (repro)

               Bulutangkis adalah roh olahraga nasional yang sejak lama selalu setia mengumandangkan Indonesia Raya setiap kali ada kejuaraan. Kini momen itu memang langka. Tapi bukan berarti kita tak mampu. Hanya saja atlet dan pengurus butuh dukungan lebih dari setiap lapisan masyarakat yang peduli dengan olahraga ini. Tak ada pilihan bulutangkis harus bangkit.
              China sebagai tuan rumah, sah-sah saja mengumbar ambisi menyapu bersih seluruh medali dari cabang yang satu ini. Tapi kita punya bukti mampu unjuk gigi. Pada perhelatan Olimpiade Beijing 2008 lalu, China juga berkoar sama. Sapu bersih. Nyatanya, Markis Kido dan Hendra Setiawan mampu menghentikan laju Chai Yun dan Fu Haifeng di final, emas pun mampu dibawa pulang.
              Sayang ketua umum PB PBSI (Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) hanya berani menargetkan satu emas di Asian Games nanti. Padahal ada lima emas untuk itu, dan Indonesia punya sejarah menyabet lebih dari setengahnya. Djoko Santoso, Ketua Umum PB PBSI punya alasan jelas dengan target itu. Kita pun maklum dengan posisi Indonesia yang jauh di bawah China dan bahkan kini sudah dilewati Korea Selatan dan Malaysia.
             Tapi apa salahnya kita mencoba mematok sesuatu yang mungkin diatas rasionalitas kita. Kalau dalam hemat penulis, manusia akan cepat puas dengan target yang dicapainya. Ketika kita merasa puas maka kita cenderung akan berhenti. China cerdik dalam memotivasi pemainnya agar tak cepat puas. Hampir dalam setiap kejuaraan bulutangkis dunia yang diikuti China, mereka selalu menargetkan pencapaian sebanyak mungkin. Kalau perlu melibas bersih semua gelar yang diperebutkan.

 Ahmad Tontowi diharapkan bisa menggantikan posisi Nova dan tak canggung berduet dengan seniornya Lilyana Natsir (repro)

               Ketakberanian PB PBSI mengumbar ambisi tinggi bisa dimaklumi. Karena lebih dari setengah pebulutangkis yang akan dibawa ke Guangzhou nanti memang belum memiliki jam terbang tinggi. Bahkan pasangan Ahmad Tontowi dan Lilyana Natsir di ganda campuran baru dipasangkan dalam beberapa bulan menjelang keberangkatan. So, kita cuma berharap mereka cepat beradaptasi dan memberikan prestasi.
              Bulutangkis yang menjadi harapan utama publik Indonesia harus mampu bangkit mengangkat kembali gengsi Indonesia di mancanegara. Kalau pun tak mampu menyingkirkan Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang, atau tak juga siap menghentikan dominasi China, setidaknya tetap membawa pulang medali dari Guangzhou nanti.
              Kita tak ingin melihat Indonesia terpuruk jauh seperti empat tahun lalu di Qatar. Dalam sejarah keikutsertaan Indonesia di Asian Games sejak tahun 1962, Doha memang menjadi pengalaman terburuk yang hanya mampu membawa pulang 22 medali, dan hanya dua yang berlabel emas. Indonesia tenggelam di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Filipina. 11 hingga 27 November nanti pecinta olahraga nasional ingin melihat kebangkitan olahraga Indonesia. Saatnya Indonesia berprestasi, saatnya bulutangkis bangkit.

Diterbitkan di Harian Singgalang, 24 Oktober 2010



Tidak ada komentar: