Minggu, 03 Oktober 2010

Memilih Antara ISL dan IPL

Oleh Heri Faisal

            Jelang bergulirnya musim kedua ISL (Indonesia Super League) beberapa waktu lalu, pecinta sepakbola tanah air dikejutkan dengan munculnya wacana baru dari pengusaha nasional Arifin Panigoro terkait kompetisi Liga Indonesia.  Ya, Arifin Panigoro yang mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PSSI menawarkan konsep baru dalam kompetisi sepakbola nasional. Kabarnya Liga tandingan. Tetapi, pengelolaannya lebih independen dan profesional.
            IPL (Indonesia Premier League), itulah nama kompetisi yang ditawarkan untuk membangun kemandirian sepakbola nasional. 15 klub peserta ISL dan Divisi Utama telah menandatangani deklarasi IPL yang direncanakan berlansung Oktober tahun ini. Diantaranya Persija Jakarta, Arema Malang, Persipura Jayapura, Semen Padang, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, dan lain-lain.

         Klub-klub Liga Indonesia tergiur ajakan Arifin Panigoro untuk mengikuti IPL yang lebih profesional (repro)


           Ke 15 klub ini setuju dengan program yang ditawarkan Arifin Panigoro perihal Liga Indonesia. Dalam pelaksanaannya nanti, kompetisi tak ubahnya ISL sekarang. Tetapi Arifin mengedepankan sistem pengelolaan Liga yang tak mesti dimonopoli PSSI. Klub yang selama ini didanai dari APBD diproyeksikan untuk lebih mandiri. Sponsor utama dan hak tayang pertandingan 100 % mutlak menjadi hak klub. Bukan diambil oleh PSSI. Selama ini, klub peserta ISL hanya mendapatkan match fee sebesar 25 juta untuk setiap pertandingan mereka. Sementara untuk mengikuti ISL ataupun Divisi Utama, setidaknya klub membutuhkan 10 sampai 20 miliar lebih per musimnya. Mau tidak mau APBD menjadi sandaran untuk terus hidup.
            Kita ambil contoh Persitara Jakarta Utara musim ini. Tim sekota Persija ini telah mengajukan proposal dana ke pemerintah daerah untuk mengikuti Liga Indonesia musim depan. Namun sampai kini kabarnya Persitara belum mendapatkan dana sepersen pun, bahkan mereka malah terlilit hutang sekitar 200 juta untuk persiapan dan pemusatan latihan. Kalau klub terus bergantung ke  APBD, maka bisa-bisa anggaran daerah dihabiskan untuk urusan di lapangan hijau saja.
            Tim Arema Malang yang menjuarai ISL tahun pertama juga tak jauh beda. Memasuki musim kedua kompetisi di kasta tertinggi sepakbola nasional, tim ‘singo edan’ ini terancam bangkrut. Padahal seharusnya tim juara mendapat fulus berlimpah. Nah, pengelolaan liga yang digelar PSSI selama ini tak membuat pemasukan klub lebih baik dari pengeluarannya.  Sehingga ide untuk membentuk kompetisi yang lebih mengindustrialisasi semakin mengemuka.
            Lebih lanjut, hitung-hitungan kepemilikan saham, PT Liga Indonesia, penyelenggara kompetisi ISL, Divisi Utama, Divisi I, dan seterusnya 95 % dimiliki oleh PSSI dan 5 % nya milik yayasan. Dalam konsep Arifin, IPL dikelola oleh PT Liga Premier Indonesia yang sahamnya secara penuh menjadi milik publik. PSSI hanya sebagai otoritas yang menaungi kompetisi nasional, sama dengan sistem kompetisi sepakbola Negara-negara maju di Eropa.  

    
        Arifin Panigoro membuat kompetisi IPL untuk membangun sepakbola Indonesia yang mandiri dan profesional (repro)


         Untuk tahap pertama, Arifin merencanakan bantuan sekitar 20-30 miliar kepada masing-masing klub peserta IPL. Suntikan ini akan terus diberikan sampai klub benar-benar mandiri dari segi pendanaan.  Jadi kedepan, klub dalam konsep yang ditawarkan Arifin tidak lagi bergantung pada dana APBD.
            Jika klub sudah mandiri, dan liga yang kompetitif dikelola secara profesional, harapan untuk melihat tim nasional berprestasi lebih bukan sekedar angan lagi. Rata-rata tim nasional dengan peringkat FIFA (Federation International Football Association) di jajaran atas dimulai dengan memiliki liga yang kompetitif dan profesional. Sementara Indonesia masih terpaku dengan urusan memutar balik sistem kompetisi sepakbola nasional. Kapan prestasinya ?
            Ketakmandirian klub dan polemik di tampuk kepemimpinan PSSI juga berdampak nyata pada prestasi tim nasional. Kita bisa lihat posisi Indonesia di rangking FIFA saat ini. Peringkat 135, itu sudah di bawah Thailand, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Sejak kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI yang naik pada 2003, prestasi timnas terus merosot. Kalau dihitung selama 7 tahun kepemimpinannya, posisi Indonesia yang semula berada di peringkat 91 FIFA kini telah dilewati oleh 44 negara. Pantas jika pengusaha yang masih memiliki kepedulian terhadap olahraga nasional seperti Arifin Panigoro khawatir terhadap sepakbola kita.
            Ide cemerlang Arifin Panigoro ini tak lantas bisa diterima semua pihak. Kabarnya, PSSI sampai mengancam akan menganulir tim peserta ISL dan Divisi Utama yang ikut kompetisi IPL. Padahal kalender ISL akan dimulai Minggu, 26 September ini. Bisa saja dengan kehadiran IPL, sepakbola nasional akan terpecah yang justru berujung pada bobroknya prestasi.
 Jika iming-iming dan konsep yang ditawarkan Arifin yang sedemikian rupa, maka sulit bagi klub untuk menolaknya. Karena dalam klausulnya klub memiliki hak kemandirian penuh. Seperti masalah hak tayang, sponsorship, dan kontrak pemain. Selama ini itu belum didapat klub peserta liga Indonesia.
            Arifin Panigoro boleh saja merencanakan berbagai program untuk kemajuan sepakbola nasional. Tetapi tetap saja penanggung jawab tertinggi sepakbola nasional adalah PSSI. Maka sebaiknya pula ide cemerlang ini di terapkan di ISL, dengan mengubah beberapa varian yang selama ini jeblok dalam masalah pengelolaan. Membentuk kompetisi tandingan rasanya hanya akan membuat simpang siur kondisi persepakbolaan nasional.
            PSSI harus mendudukkan masalah ini, bukan dengan mengancam memecat tim yang ingin bergabung dengan IPL. Kalau usul Arifin dipandang bagus dan berdampak positif pada sepakbola nasional, mengapa mesti takut merasa tersaingi. Justru PSSI sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sepakbola nasional yang diakui AFC dan FIFA diuntungkan dengan ide itu. PSSI bisa bekerja sama dengan Arifin Panigoro untuk memadukan dan menjalankan konsep mutakhir dengan kompetisi yang sudah ada. Dengan begitu kepercayaan masyarakat terhadap PSSI akan terus terjaga.

Diterbitkan di Harian Singgalang, 3 Oktober 2010

Tidak ada komentar: