Oleh Heri Faisal
Goenawan Muhamad (GM), mantan Pemimpin Redaksi pertama majalah Tempo akhirnya mengembalikan penghargaan Bakrie Award dan uang tunai Rp140 juta sudah termasuk bunga kepada Bakrie Insitute, yayasan yang didanai keluarga Bakrie. Anugerah Bakrie Award diberikan kepada Goenawan pada 2004 atas sumbangsihnya di dunia kepenulisan plus uang hadiah Rp 100 juta (Kompas, ).
Sri Mulyani Indrawati (repro)
Kisruh politik yang melibatkan tokoh utama Aburizal Bakrie, penggalang dana untuk Bakrie Institute dengan mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam perkara Century membuka mata Goenawan. Hatinya mulai bertanya ketika kasus Lapindo Brantas milik Bakrie yang merugikan ribuan masyarakat Sidoarjo belum juga tuntas diganti rugi. Apalagi Sri Mulyani giat menguak kasus penunggakan pajak di berbagai perusahaan milik keluarga Bakrie. Plus obsesi Ical (Aburizal Bakrie) bersama Golkar menurunkan Sri Mulyani dari kursi menteri adalah sekelumit kisah yang jadi alasan GM mengembalikan anugerah itu.
Sebatas itukah ? Tidak. Goenawan menilai Ical bukanlah tokoh politik ideal yang bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat. Lebih-lebih lagi setelah Sri Mulyani mundur, Ical dan Golkar yang amat getol menggugat Century kemudian diam. Lalu bersedia menutup kasus tersebut. Goenawan, atau mungkin kita semua akan berkesimpulan telah terjadi opera politik di sana. Mengutip kata-kata Goenawan, “Sri Mulyani tidak bersalah”. Maka secara tidak langsung pengembalian anugerah itu, meski sudah ia (GM) rencanakan setahun sebelumnya, adalah satu wujud pemaafan untuk Sri Mulyani.
Citra Buruk
Sudah sebulan lebih mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani bertugas di Bank Dunia. Selama itu pula kisruh kasus Century seperti hilang di telan bumi. Padahal, selama berbulan-bulan sebelumnya nama Sri Mulyani bersama Wakil Presiden Boediono disebut-sebut sebagai dalang utama pengucuran dana Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Bank berdampak sistemik yang dianggap tak boleh mendapat kucuran Negara. Dana yang akhirnya mengucur ke rekening-rekening tak jelas Robert Tantular dan akhirnya tak mampu menyelamatkan Century.
Entah benar atau tidak, kesalahan Sri Mulyani sampai kini belum bisa dibuktikan. Namun, yang jelas, namanya sudah tercoreng sebagai otak pengucuran dana triliunan yang merugikan Negara. Setiap hari tudingan kepadanya jauh lebih besar dari kemampuannya untuk tetap bertahan sebagai menteri. Ia diposisikan sebagai orang yang paling bersalah. Hingga masyarakat awam yang tak tahu politik pun dengan lantang menyebut Sri Mulyani bersalah.
Panitia angket Century masih kabur memaparkan fakta soal bersalah tidaknya Sri Mulyani. Meski ujung-ujungnya penyelamatan Century dianggap sebagai putusan yang keliru. Tetap saja tidak ada titik temu yang menerangkan dengan gamblang kesalahan Sri Mulyani. Toh, tak ada satu rupiah pun yang masuk ke rekening pribadi maupun keluarganya.
Bisa jadi ada konspirasi politik untuk menjatuhkan Sri Mulyani. Mendiamkan kembali borok pejabat haus kekuasaan yang mulai tercium ke permukaan. Tentu mengamankan kekuatan pemerintah dari hadangan para oposisinya. Budaya lama dalam politik kepentingan yang tumbuh kembali dengan tidak mengindahkan nurani dan aspirasi bersama. Maka orang-orang yang dianggap ganjalan akan disingkirkan dengan cara menyakitkan. Sri Mulyani mungkin korban ketamakan politik itu. Maklum, ia adalah menteri berpandangan lurus yang bisa mengancam keharmonisan koalisi.
Century berakhir meninggalkan luka dan citra buruk bagi Sri Mulyani. Meski Bank Dunia memberinya label Menteri Keuangan terbaik di Asia, tetapi tetap saja perlakuan politik tak diterimanya dengan baik. Kini kita terperangah, ketika Bank Dunia dengan jelas memberinya jabatan Direktur Pelaksana yang menangani 74 negara untuk wilayah Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Karibia. Century tetap menjadi catatan pilu dalam karir alumnus Illinois University itu. Walau bagaimana pun, mengabdi untuk negeri sendiri sudah pasti menjadi keinginan tertinggi setiap individu.
Memaafkan
Benarkah Sri Mulyani berdosa dalam kasus Century ? Sulit mengatakan iya, dan tentu rumit pula untuk berkilah tidak. Sri Mulyani lah yang tahu jawabannya. Hingga batasan antara dosa dan tidak begitu tipis dalam posisinya. Ketika ia ditempatkan dalam pilihan sulit dan keterbatasan solusi untuk bertindak, maka mengikuti nurani mungkin adalah pilihannya.
Nando Parrado mantan atlet rugby Uruguay adalah satu contoh kecil. Ia bercerita dalam bukunya Miracle in the Andes bagaimana ia dan rekan-rekannya melewati satu keputusan paling berat dalam hidupnya. Ketika itu pesawat yang ia tumpangi jatuh di pengunungan Andes, sekitar 6.000 meter di atas permukaan laut. Terjebak selama dua bulan lebih tanpa makanan. Setengah dari sekitar 45 orang penumpang dalam pesawat kecil itu telah tewas. Hanya ada sedikit pilihan bagi mereka ketika bantuan tak jua datang. Mati kedinginan di tengah salju dan udara tak menentu, atau bertahan hidup dengan satu-satunya makanan adalah bangkai teman-teman mereka. Pertarungan batin yang keras antara mengikuti nurani untuk hidup dan norma yang berlaku. Nando memilih bertahan hidup dengan mamakan bangkai rekan-rekannya. Apakah ia berdosa ?
Kadang aturan yang merujuk pada keadaan semestinya berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Nurani juga tak berbanding lurus dengan undang-undang. Padahal keduanya adalah pembenaran untuk setiap realitas dan sistem. Ketika keduanya saling bertolak belakang dan bertemu untuk sebuah keputusan, manakah yang lebih absah.
Aturan atau undang-undang diciptakan untuk melahirkan keselarasan, keseimbangan, dan kebenaran dengan poin-poin yang ditentukan. Nurani diberikan Tuhan kepada setiap makhluknya untuk bertindak benar tanpa prasyarat. Yang ada hanyalah ganjaran pahala dan dosa. Nurani mampu mengontrol manusia untuk menilai yang mana salah dan mana pula yang benar. Dalam posisi demikian salah atau benar sudah tentu tergantung niat si pelakunya.
Seorang pastor akhirnya membenarkan tindakan Nando Parrado yang memakan bangkai teman-temannya ketika terjebak dalam pegunungan salju tak berujung itu dengan alasan untuk bertahan hidup. Kisah Sri Mulyani memang tak seekstrim Nando dan bukan pula menyoal hidup mati dirinya. Tetapi menyangkut permasalahan yang lebih luas, stabilitas nasional. Ia mungkin bersalah dalam aturan pengeluaran anggaran Negara yang kala itu masih tolak ulur. Tetapi nuraninya benar dalam menyelamatkan perekonomian nasional, hingga Indonesia bebas dari resesi global.
Sebagai individu yang tak selamanya benar, kita berkewajiban memaafkan Sri Mulyani. Apakah ia bersalah atau tidak, biarlah hukum yang menentukan. Maka untuk menjamin kepastian hukum, sebaiknya kasus Century tetap diusut sampai ke akar-akarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar