Jumat, 27 Agustus 2010

Dedikasi di tengah Kekuasaan

Oleh Heri Faisal

Judul Buku : The Year of Living Dangerously
Penulis : Christopher Koch
Penerbit : Serambi
Cetakan : II, November 2009
Tebal : 496 halaman



1965 adalah tahun dimana Republik ini mengalami gejolak politik yang amat besar. Kedekatan Soekarno dengan Cina dan Soviet, telah membentuk poros Jakarta-Peking-Moskow yang meresahkan kampanye liberalisme Amerika. Ketegangan politik di kawasan ini menimbulkan konfrontasi antara Indonesia-Malaysia, hingga keluarnya Indonesia dari United Nation Organization (UNO) atau PBB.
Di Jakarta, Soekarno sibuk membangun lambang-lambang kejayaan Indonesia untuk dipamerkan ke mata dunia. Sebagian besar anggaran Negara dialokasikan untuk program itu. Monumen Nasional (Monas), Gelanggang Olahraga terbesar di Asia, hingga Hotel Indonesia yang melambangkan kemewahan kota ini, dijadikan alat kampanye pemerintah untuk menandingi arogansi dunia barat.
Sementara di pinggir kota Jakarta, ribuan rakyat hanya disuguhi slogan “Ganyang Malaysia”, tanpa sekali pun pemerintah peduli dengan tempat tinggal mereka, makan mereka, air bersih mereka. Bahkan ratusan pelacur sampai harus menunggu subuh untuk membelikan obat dan susu anak-anaknya.
Billy Kwan, juru kamera keturunan Tionghoa merasakan betul dampak arogansi politik Soekarno terhadap kesejahteraan masyarakat. Ia yang mengidolakan Soekarno, tiba-tiba menjadi murka dan bersumpah akan membunuh sosok idolanya tersebut. Kehidupannya menjadi kosong, dan hanya terobsesi pada kebenciannya terhadap pemimpin besar revolusi itu.
Sebuah kelompok yang menyebut diri mereka wayang, tumbuh subur di tengah ketegangan politik di negeri ini. Wayang adalah basis, tempat kongkownya wartawan-wartawan asing. Mereka setia menunggu komentar-komentar Soekarno yang sering kali membuat merah telinga barat. Billy Kwan bergabung di sini. Ia berteman baik dengan seorang wartawan dari Australia , Guy Hamilton.
Hubungan keduanya memburuk ketika diam-diam Hamilton menjalin cinta dengan Jill Bryant, wanita Inggris yang sejak lama ditaksir Kwan. Sejak itu mereka bekerja sendiri-sendiri. Hubungan dua sahabat ini pun semakin renggang dan mereka larut dengan idealisme masing-masing. Hingga akhirnya Kwan tewas ditembak aparat dalam upayanya membunuh presiden Soekarno.
Christoper Koch dengan ketelitian dan pemahaman yang tinggi akan detail suhu politik Indonesia di tahun 1965 menyuguhkannya dengan tulisan yang menyentuh. Pemikiran liberal penulis sedikit banyak mengarahkan pembaca pada konstruksi buruk pemerintahan Indonesia saat itu. Soekarno digambarkan dengan fanatisme kebangsaan yang berlebihan. Pesonanya bak Wishnu yang dinanti kaum ‘marhein’ ciptaannya.
Dibumbui dengan kisah cinta segitiga, dan bagaimana sulitnya wartawan asing (barat) berinteraksi dengan birokrasi, novel ini seperti sebuah fiksi sejarah yang nyata. Namun Koch menyerahkan penilaian dan pembenaran pada pembaca. Karena walau bagaimana pun kebenaran sejarah bukanlah pembenaran yang absolut.
Novel yang terbit perdana tahun 1978 ini, sudah diadaptasi ke layar lebar di Australia . Selama pemerintahan orde baru, novel dan filmnya dilarang beredar di Indonesia.

Diterbitkan di Harian Singgalang, Februari 2010




Tidak ada komentar: