Oleh Heri Faisal
Kalau bicara online, saya bisa dikatakan orang yang gaptek (gagap teknologi), istilah yang lima tahun terakhir begitu populer di Padang. Perkenalan saya dengan online baru terjadi sejak status saya berubah jadi mahasiswa sejak 2006 lalu. Itu pun baru sekedar mencari bahan-bahan perkualiahan di internet, lalu pandai bikin e-mail, bikin blog, dan facebook.
Akhir 2008 lalu, ketika saya bergabung dengan sebuah organisasi media di kampus, saya dipercaya memegang jabatan Manajer Event Organizer. Sesuatu yang baru buat saya. Tugasnya mengelola berbagai kegiatan organisasi, kasarnya bikin acara.
Andika Destika Khagen, saat ini wartawan Harian Haluan, usul ke saya untuk angkatkan seminar soal Citizen Journalism. Saya tak begitu paham. Kami diskusi sampai beberapa hari. Fenomena ini memang sedang hangat di media. Padang Ekspres dan Singgalang konsisten menyediakan rubrik ini di halaman minggunya.
Yusrizal KW (di tengah, berkaca mata) dan AR. Rizal bersama kru Ganto setelah Seminar Citizen Journalism di Auditorium UNP, Minggu, 3 Mei 2009 (f/ganto)
Dalam sebuah diskusi di kantor AJI Padang 2009 lalu, kami bicara soal perkembangan media online yang secara bertahap menggeser kemapanan cetak. Diskusi rame sekali. Ada Syofiardi Bachyul JB, koresponden The Jakarta Post yang giat mengelola situs berita PadangKini.com. Hendra Makmur dari Media Indonesia, Yonda Sisko wartawan Detik.com, Abdullah Khusairi Pemimpin Redaksi Padang-today.com, Eriandi dari VIVAnews.com, dan mayoritas dihadiri wartawan mahasiswa.
Syofiardi bercerita bagaimana media cetak di Amerika rata-rata harus mengurangi setengah dari oplahnya karena beralih ke online. Bahkan ada media yang secara resmi menutup edisi cetak dan total beralih ke online. The Washington Post, Rocky Mountain News, International Herald Tribune, dan Seattle Post adalah contoh segelintir media yang terpaksa menghentikan pekerja ruang cetaknya.
Kata Abdullah Khusairi, kita tak bisa lari dari perkembangan online, lambat laun, mau tidak mau kita tetap akan menuju ke sana. Perkembangan internet memang tak bisa dihindari. Dalam tesis Philip Meyer berjudul Vinishing Newspaper, ia bahkan berani menyimpulkan bahwa cetak terakhir akan terbit kwartal akhir 2043, sekitar September. Setelahnya Koran versi cetak akan hilang dari peredaran.
Oleh berbagai praktisi jurnalistik, Citizen Journalism dianggap sebagai salah satu upaya memperpanjang umur cetak. Saya sedikit mulai paham dengan situasi ini. Sebagai aktivis pers kampus, kita memang berkewajiban menjadi pelopor sebuah perubahan. Saya ajak Joni Irfan, rekan se tim di media kampus Ganto untuk angkatkan tema ini.
Kami sibuk bikin TOR acara. Cari pemateri yang paham bicara soal Citizen Journalism, dan promosi. Saya coba hubungi Khairul Jasmi, Pemimpin Redaksi Singgalang, dan Yusrizal KW, Redaktur Senior Padang Ekspres untuk jadi pembicara di acara tersebut. Mereka bersedia. Sayang, menjelang acara Khairul Jasmi mengundurkan diri karena sakit. Ia digantikan AR. Rizal, Redaktur Mingguan Singgalang. Minggu, 3 Mei 2009 kami menggelar seminar Citizen Journalism di Auditorium UNP. Rata-rata pesertanya adalah aktivis pers kampus.
Intinya, setelah radio hadir, televisi tampil menarik perhatian warga, dan internet datang dengan janji kecepatan dan kemudahan, cetak harus bisa bersaing menarik minat pembaca. Kedekatan dan keterlibatan pembaca menjadi mutlak. Prinsip Citizen Journalism berlaku disini. Walaupun sebenarnya ranah online lebih tepat diterapkan untuk citizen, cetak dalam beberapa tahun ke depan masih relevan mengembangkan prinsip ini. Tentu dengan kreatifitas dan inovasi berkualitas tinggi.
Saya dan Andreas Harsono di Sei Rokan Training Center, Riau ketika mengikuti workshop "Menulis Panjang, Dalam, dan Terasa". Andreas menyarankan pers mahasiswa lebih serius mengelola website. (f/arie)
Awal Februari lalu, saya ikut pelatihan narasi dengan Andreas Harsono di Pekanbaru. Pelatihan satu minggu penuh. Kami diajari prinsip-prinsip dasar jurnalisme dari buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstil, dan buku Agama Saya Adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono. Andreas banyak mengkritik cara kerja media Jakarta, termasuk Kompas, Tempo, dan TV One.
Selama pelatihan saya banyak mencuri waktu berbincang dengan Andreas soal new media. Andreas juga memiliki ketertarikan terhadap online. Awal tahun, ketika ke New York, ia menyempatkan diri bertemu Bill Kovach, gurunya ketika mengikuti Nieman Fellowship on Journalism Program di Universitas Harvard, Cambridge. Ia membawa buku terbaru Kovach yang bicara bagaimana jurnalisme bekerja terhadap new media. Ia mengenalkannya sebagai elemen ke sepuluh, melengkapi buku yang terbit 12 tahun sebelumnya, The Elements of Journalism (edisi Indonesia: Sembilan Elemen Jurnalisme).
BLUR: How To Know What's True in the Age of Information Overload, karya terbaru Bill Kovach dan Tom Rosenstiel berisi soal jurnalisme terhadap new media. Andreas mengenalkannya sebagai elemen ke sepuluh melengkapi buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Yayasan Pantau berencana menerbitkan buku ini untuk edisi Indonesia. (f/repro)
Kovach, seperti diceritakan Andreas juga terkejut dengan perkembangan online yang luar biasa pesat. Ini diluar prediksinya. Kami berbincang bagaimana Google bekerja, Yahoo, Facebook, My Space, dan berbagai media online yang berkembang saat ini. Kesimpulannya, media kampus sudah harus mengutamakan online. Andreas sangat menganjurkan pers mahasiswa lebih kreatif dan serius mengelola website.
Ada banyak alasan mengapa pers mahasiswa mesti beralih ke online. Pertama, online mengenal prinsip up date yang mengutamakan kecepatan. Itu membantu melatih kedisiplinan untuk bekerja dibawah tekanan. Online secara jelas menjawab tuntas permasalahan yang mayoritas dirasakan pers mahasiswa saat ini. Dana, Cetak, dan Independensi. Online relatif murah soal dana, dan tak direcoki urusan cetak. Independensi tentu juga lebih mudah diterapkan.
Yang lebih penting, ditengah maraknya korporasi media yang berorientasi bisnis, pers mahasiswa jadi media alternative yang menerapkan konsep jurnalisme dengan baik. Pers mahasiswa harus bisa menjadi jawaban yang berpihak pada kepentingan publik, ketika pers umum diboncengi kepentingan kelompok.
Organisasi Pers Mahasiswa se-Sumatera Barat mendeklarasikan berdirinya Asosiasi Pers Mahasiswa Sumbar, Jumat, 25 Maret 2011 di Aula Fakultas Dakwah, IAIN Imam Bonjol. Sebelum itu mereka menggelar workshop "New Media dan Tantangan Persma Kedepan". (f/suaka)
Pada Jumat, 25 Maret lalu, Sembilan organisasi pers mahasiswa Sumatera Barat mendeklarasikan berdirinya Asosiasi Pers Mahasiswa Sumbar. Sebelum itu, digelar workshop “New Media dan Tantangan Persma Kedepan”. Syofiardi Bachyul, Hendra Makmur, dan Abdullah Khusairi tampil sebagai pembicara. Mereka dipandu Andika Destika Khagen. Ketiganya sepakat, ketika pers mahasiswa digerogoti permasalahan minim dana, intervensi dari birokrasi, dan permasalahan cetak lainnya, pers mahasiswa harus jeli menempatkan posisi. Beralih ke online, dengan mengelola website rasanya adalah solusi terbaik.
Dari acara itu kesan saya, mayoritas pengurus pers mahasiswa di Sumatera Barat belum memahami bagaimana pentingnya online dalam beberapa tahun mendatang. Itu saya saksikan sendiri ketika rata-rata pertanyaan yang muncul masih seputar bagaimana mengelola media kampus, membagi waktu, menghindari intervensi, dan lain-lain. Kalau telat memulai, saya pastikan akan ketinggalan. Online bicara soal kecepatan dan kepercayaan. Saya rasa, untuk membangun itu terutama (trust) jelas butuh waktu lama. Detik.com yang didirikan Budiono Darsono harus menunggu 12 tahun sampai ditawar Rp 800 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar