Oleh Heri Faisal
Dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Vega R bernomor polisi BM 3833 FZ warna biru, M. Isa Anshori bertolak menuju sekolah tempatnya mengajar. Jarak rumahnya dengan sekolah sekitar 1.000 meter. Hanya butuh waktu tak lebih dari lima menit. Itu pun dengan kecepatan di bawah 30 km/jam. Bahkan dengan jalan kaki juga tak perlu menghabiskan waktu setengah jam.
Rutinitas ini dilakukannya setiap hari sehabis zuhur, kecuali Jumat dan Minggu (dua hari itu sekolahnya memang libur). Ia mengajar sebuah sekolah sore di desa Beringin Lestari, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau dimana ia bermukim sekarang. Masyarakat di sana menyebutnya madrasah, sebuah sekolah setingkat SD (Sekolah Dasar) khusus mempelajari agama Islam. “Hampir tiap desa di sini punya madrasah,” kata Anshori.
Anshori adalah ayah tujuh anak. Anak pertamanya sudah tamat SMA dan kini mengajar di pesantren di Pekanbaru. Pendidikan agama sudah dibiasakan dalam keluarganya. Tak seorang pun anak Anshori yang tak mengenyam pendidikan madrasah. Karena menurutnya, sekolah umum tak cukup memberikan pelajaran agama untuk anak-anak.
Beginilah antusiasme siswa yang belajar di Madrasah, desa Beringin Lestari, kecamatan Tapung Hilir, kabupaten Kampar, Riau. Mereka hanya dipungut SPP Rp 3.000 per orang setiap bulannya (f/heri)
Sejak tahun lalu, Madrasah Diniyah Awaliah (MDA) tempat ia mengajar berubah nama menjadi Pendidikan Diniyah Takmiliyah Awaliah (PDTA). Kurikulumnya dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Juga ijazahnya. Dan sekarang, honor empat orang gurunya mendapat bantuan pemerintah masing-masing 300 ribu per bulan.
Memang tak seberapa. Tapi menurut Anshori, itu sudah merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap pendidikan agama. Lalu ada bantuan untuk honor guru dari kas desa sebesar 1,25 juta setiap bulan. Sementara untuk uang sekolah, setiap bulan siswa hanya dipungut 3.000 per orang. “kalau mereka kakak beradik, satu orang saja yang bayar. Kalau keluarga miskin tak dipungut.” Terangnya.
Kini, tak banyak orang yang mau mengajar di madrasah. Di MDA Beringin Lestari saja misalnya, sejak memimpin madrasah tersebut tahun 2000, Anshori hanya dibantu empat orang guru. Tak sebanding lagi dengan jumlah siswa yang sekarang sudah mendekati angka 120.
Tidak ada penambahan guru di madrasah ini. Sementara, “ada penambahan 10 sampai 20 siswa setiap tahun,” kata Anshori. Ia maklum, orang lebih suka kerja di kebun mengurus sawit, berdagang, atau menjadi pegawai negeri. Penghasilan mereka jelas dan tentu lebih besar.
Anshori orang Jawa, tapi tumbuh dan dibesarkan di Kisaran. Kulitnya hitam, wajah tirus, dan jenggot agak panjang. Sekilas, perawakannya mirip anggota tarekat. Islam fanatik. Ia mengaku hanya petani. Waktu sorenya dihabiskan untuk mengajar di madrasah. Jadi tak ada ikut organisasi islam. “Saya takut, anak-anak terpengaruh kristenisasi. Itu kan lagi marak,” katanya. “Ilmu agama harus kuat.”
Pada awal 1990-an, ia datang ke Beringin Lestari mengikuti program transmigrasi. Dapat satu kapling kebun sawit, “ya, sekitaran dua hetar,” katanya. Nah, kebun itulah yang kini jadi sumber utama menghidupi keluarganya.
Menjadi guru di MDA menurutnya bukan untuk mencari penghasilan lebih. Bahkan kalau mau, ia bisa cari kerja lain atau mengurus kebun untuk mendapatkan uang. “Ini kan kegiatan mengabdi, tujuannya ya dakwah, mengajar ilmu agama,” jelasnya dengan tertawa. Ia bangkit dari duduknya. Memperlihatkan tubuhnya yang kurus tinggi. Mengomandoi siswa-siswanya masuk ke kelas karena waktu istirahat sudah habis.
MDA desa Beringin Lestari berada tepat di pusat desa. Tak sampai 100 meter di sebelah utaranya ada Kantor Desa yang menghadap ke Mesjid Raya Al-Baroqah yang belum selesai. Masjid itu dibangun dengan dana swadaya masyarakat setempat. Sudah 7 tahun masih terbengkalai karena faktor dana. “Ada bantuan dari PT, tapi ya sekedarnya,” tambah Anshori.
Di sekitar mesjid berdiri sebuah SD, dan MTS (Madrasah Tsanawiyah). Anshori adalah Khatib di mesjid tersebut. Halaman masjid luas sekali. Ada lapangan voli. Pemuda pemudi dan beberapa orang ibu, selalu ramai. Setiap sore ada yang main voli.
Karena tidak ada paksaan untuk sekolah Madrasah, Dimas (baju hitam) dan teman-temannya seringkali bolos sekolah.(f/heri)
Ke arah selatan dari mesjid, sekitar 200 meter di tepi jalan raya desa. Ada tempat pemancingan ikan. Baru tiga bulan dibuka. Setiap sore selalu ramai oleh bapak-bapak yang tak punya kegiatan sore. Mereka tampak semangat sekali memancing ikan. Beberapa anak lelaki usia 6-9 tahun juga ramai di sana. Mereka memancing di saluran air kecil di samping kolam.
Hari itu seharusnya mereka sekolah madrasah. “kami bolos bang,” kata Dimas salah satu dari anak itu seraya minta difoto. Ia bilang lagi malas sekolah, “enakan di sini, cari ikan,” katanya.
Anshori mengatakan MDA memang tidak memaksa orang tua menyekolahkan anak-anak di sana. Hanya kesadaran orang tua saja untuk menyuruh anaknya sekolah. “Kalo orang tua pengen anaknya tahu ilmu agama ya disekolahkan di sini,” jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar