Oleh Heri Faisal
Dalam sebuah perkuliahan saya begitu tergelitik dengan komentar dosen saya tentang gempa. Peristiwa itu terjadi di minggu pertama perkuliahan pascagempa. Melihat mahasiswa di lokal yang masih was-was dan cemas terhadap gempa, Dosen ini pun maklum dan tidak jadi memberikan perkuliahan. Sedikit berceramah, ia mulai menyampaikan petuahnya seputar gempa di Sumbar.
Saya sempat merenungkan pesannya. Kira-kira seperti ini, “ gempa tidak membunuh manusia, yang membunuh manusia hanyalah ketakutan manusia itu sendiri, maka bersahabatlah dengan gempa,” begitu pesannya. Saya sedikit tertawa mendengar ceramahnya. Mana mungkin gempa tidak membunuh. Buktinya, bangunan-bangunan runtuh akibat gempa dan menewaskan banyak orang yang tertimbun di dalamnya. Itu realita logis yang ada dipikiran saya. Saya rasa pembaca juga berpikir demikian.
Gempa Padang, Rabu (30/9) menimbulkan kerusakan parah (repro)
Tetapi pada ujung-ujungnya, saya justru berpikir seperti ini. Gempa adalah gejala alam, dan alam diciptakan oleh Sang Pencipta. Nah, semua kejadian di alam itu tentu merupakan kehendak tuhan yang diberikan untuk menguji hambanya. Mungkin selama ini kita tidak sadar, kita lupa, bahkan mungkin lalai dengan tanggunjawab kita sebagai seorang hamba. Hingga menyebabkan Allah murka dan menurunkan bencana seperti ini.
Seharusnya kita bersyukur, karena ternyata tuhan masih mau hanya sekedar mengingatkan, bukannya menghancurkan kita dengan kehancuran yang parah. Jika saja Allah mau berkehendak lebih, sedikit pun tidak susah bagi-Nya untuk menghancurkan kota Padang yang kecil ini. Maka lari dari gempa bukanlah pilihan yang bijak. Kalaupun kita mati disebabkan tertimbun reruntuhan bangunan akibat gempa, namun kita tetap tenang dan tawakal kepada Allah. Rasanya mati yang demikian justru jauh lebih sempurna. Toh, semua yang bernyawa pasti akan mati juga. Sebab Allah sudah janjikan akan ada kehidupan selanjutnya yang jauh lebih panjang. Dan mati hanyalah gerbang untuk menuju kehidupan itu.
Secara ilmiah, menurut Dr. Ir. Badrul Mustafa Kemal, DEA, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, bahwa Sumatera itu adalah daerah rawan gempa. Bahkan hampir seluruh wilayah Indonesia dilalui lempengan-lempengan tektonik yang berpotensi besar menyebabkan gempa, kecuali Kalimantan. Kalau memang demikian rasanya bukanlah hal aneh jika gempa sering kali melanda nusantara ini. Kemana pun kita mengungsi, situasinya akan tetap sama. Karena tidak hanya di sepanjang pesisir pantai barat Sumatera ke Samudera Hindia dan Pasifik saja yang rawan terhadap gempa, tetapi juga daerah daratan sepanjang garis pegunungan Mediterania adalah wilayah dengan gunung-gunung aktif yang berpotensi menimbulkan gempa.
Lalu jika sudah demikian, apa yang mesti kita lakukan ? Nah jawabannya itu tadi, bersahabatlah dengan gempa. Bersahabat di sini dalam artian kita tanggap dan awas terhadap kemungkinan-kemungkinan laknat Allah atau murni gejala alam. Keduanya perlu menjadi perhatian serius bagi kita. Bersikap dan berbuatlah kita sebagaimana yang dianjurkan Rasullullah SAW. Hindarkan perbuatan tercela yang tidak disukai Allah. Karena laknat Allah selalu datang bagi hambanya yang ingkar. Tak perlulah kita lari dari bencana yang demikian, karena jika kita yakin dengan kuasa Tuhan kita akan selamat.
Budaya minang sudah mengajarkan banyak hal kepada kita untuk diaplikasikan. Adat bersendi sara’, sara’ bersendi kitabullah. Rasanya cukuplah kita berpegang pada pedoman itu. Karena sudah jelas Al-Qur’an menjadi landasannya. Jika kita sudah mengamalkan perintah tuhan, insya allah bencana akan dijauhkan dari kita. Itu secara agama.
Kedua secara ilmiah. Manusia diciptakan dengan akal dan kemampuan berpikir yang jauh lebih maju dari makhluk tuhan lainnya. Dari ilmu pengetahuan kita bisa mempelajari gejala-gejala alam, dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan bencana. Di wilayah yang rawan gempa seperti Padang, masyarakat haruslah mendirikan bangunan yang ramah dengan kemungkinan bencana gempa. Perhitungan kekuatan gempa dan keadaan bangunan mutlak diperhatikan disini. Bagaimana fondasinya, bentuknya, dan kenyamanan bagi penghuninya juga. Jadi, kita tidak membangun secara asal saja. Kira-kira seperti itulah seharusnya kita mengantisipasi agar tidak terjadi korban yang besar. Karena sebenarnya ilmu pengetahuan dan agama saling beriringan. Itu mungkin maksud bersahabat dengan gempa seperti yang dijelaskan Dosen saya tadi.
Diterbitkan di Harian Singgalang, November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar