Oleh Heri Faisal
Sejarah menyimpan catatan istimewa untuk dipelajari dan dicari makna-maknanya. Mengapa kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu? Mengapa hidup harus direfleksikan? Sebab, kita tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Filsuf Yunani, Socrates bahkan berkata, “Hidup yang tidak direfleksikan, tidak pantas untuk dilanjutkan”. Namun, perilaku berbeda seringkali ditunjukkan bangsa ini. Kita umumnya tidak pernah merefleksikan masa lalu untuk dijadikan pedoman bertindak di masa mendatang. Kasus peledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton, Jumat (17/7/09) adalah salah satu buktinya. Seharusnya, kejadian tersebut tidak boleh terulang, apalagi di Hotel JW Marriott yang sudah dua kali menjadi korban pengeboman.
JW Marriot Hotel Jakarta korban aksi brutal teroris (repro)
Sebelum tragedi Mega Kuningan itu, Indonesia juga telah mencatat puluhan kali terjadi ledakan bom dalam skala kecil dan besar yang berlangsung sejak 1962. Catatan dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Masjid Nurul Iman, Padang juga pernah menjadi sasaran pemboman pada 11 November 1976. Pelakunya adalah Timzar Zubil. Nama itu menurut lansiran resmi aparat terkait erat dengan Komando Jihad, sebuah ‘gerakan Islam radikal’ sisa peninggalan DI/TII Kartosuwiryo yang pernah melawan pemerintahan Soekarno. Tapi, nama Timzar Zubil seperti siluman. Tak ada pangkal usutannya (www.kabarindonesia.com, 24/9/07). Dengan puluhan kasus ini, Badan Intelijen Negara (BIN) mestinya mempertajam penciuman dan kemampuan deteksinya.
Tak berhenti sampai di sana. Negara kita juga akrab dengan kasus kecelakaan pesawat, bencana alam, kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu), serta berbagai kasus yang tidak bisa dirincikan satu persatu. Seharusnya deretan panjang tragedi itu tidak perlu terjadi lagi, jika ada perhatian serius dari semua pihak. Pemerintah mesti menjadi pionernya untuk menggerakkan masyarakat sadar dan tanggap lingkungan.
Para intelektual kampus (baca: mahasiswa) yang kelak meneruskan estafet kepemimpinan bangsa, ternyata juga tak luput dari kelalaian. Kealfaan untuk merefleksikan kejadian masa lalu menjadikan aktivitas kampus selalu terbentur pada permasalahan yang sama. Di Universitas Negeri Padang (UNP) sendiri misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2007/2008 gagal membangun kesatuan organisasi mahasiswa (ormawa) (baca SKK Ganto, Edisi No. 146/ Tahun XIX/Agustus-September 2008). Ormawa bergerak sendiri-sendiri saat demo menolak kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Waktu itu gerakan mahasiswa pecah menjadi tiga kelompok, BEM Sumbar, universitas swasta dan gabungan ormawa ekstra kampus.
Selain itu, BEM juga tidak mampu menyalurkan aspirasi mahasiswa. BEM seringkali tidak mampu menjembatani mahasiswa dan rektorat jika terjadi masalah. Periode kepengurusan BEM selanjutnya justru lebih parah, selain gagal membangun kesatuan ormawa, BEM sendiri justru direcoki persoalan intern yang kompleks. Mulai dari ketidakjelasan program kerja, ketidakharmonisan dengan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), hingga ‘kaburnya’ sang presiden.
Refleksi tentang masa yang baru lewat itu diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang Indonesia baru macam apa yang ingin kita ciptakan. Apa hubungan antara sejarah masa lalu dengan kebangkitan? Kita harus memahami sejarah masa lalu, jika ingin mengembangkan potensi positif yang akan membawa kebangkitan di masa depan. Selain itu, kita juga harus mengetahui potensi negatif yang pernah ada dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya. Bangsa ini menjadi besar karena persatuan dan bangsa ini akan terancam perpecahan, jika para elite pemimpinnya hanya mementingkan diri sendiri.
Saat ini kita, bangsa Indonesia justru cenderung berusaha melupakan berbagai pelajaran dari masa lalu. Kita seharusnya dapat menemukan pelajaran dari faktor sosial, ekonomi, maupun politik yang menyebabkan berbagai kejahatan pada masa lalu. Demikian, kita dapat lebih mudah mengatasi atau mencegah kejahatan serupa yang terjadi sekarang dan masa depan. Komitmen perubahan menjadi penting di sini.
Selain itu, perlu kerja keras pemerintah, intelektual kampus dan seluruh masyarakat untuk kembali menata negeri ini. Lakukan perubahan pada pribadi setiap individu setidaknya untuk cara pandang yang persuasif. Mengajak untuk merefleksikan kejadian masa lalu sebagai pedoman penentuan tindakan antisipasi untuk setiap permasalahan. Jika tidak, maka hidup seperti kitalah yang menurut Socrates tidak pantas untuk dilanjutkan. Jadikan lembaran kehidupan masa silam kita sebagai dokumentasi (data, fakta & pengalaman) yang amat berharga. Ini akan menjadi landasan melakukan proses pembelajaran.
Diterbitkan di Tabloid Ganto, Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar