Senin, 10 Oktober 2011

Mengincar Puncak Kedua

Oleh Heri Faisal


Puncak pertama dari tujuh gunung tertinggi di dunia, Carstenz Pyramid di pegunungan Jayawijaya, Papua dengan ketinggian 4.884 meter dari permukaan laut (mdpl) sudah tiga kali dicapai Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Unand. Yakni sejak 2005, 2006, dan teranyar April lalu.

Beginilah kegiatan Mapala Unand. Selain mendaki gunung, olahraga Arung Jeram juga dilakoni. (f/ist)

Mengawali misi untuk melewati ketujuh puncak tertinggi dunia (Everest, Aconcagua, McKinley, Kilimanjaro, Elbrus, Vinson Massif, dan Carstenz Pyramid) tersebut, mereka memilih Carstenz sebagai pelabuhan awal. Selain masih berada di wilayah teritorial Indonesia, Papua, biaya yang dibutuhkan pun relatif lebih murah daripada pendakian puncak lainnya.

“Alhamdulillah, kami bisa melewati puncak itu dengan selamat,” kata Hardi Diarmi, pendaki senior Mapala Unand. Menurutnya, itu langkah awal yang baik untuk melakukan pendakian selanjutnya. Dalam waktu dekat, Hardi dan timnya berencana sudah mencapai puncak Elbrus di Pegunungan Kaukasus, Rusia dengan ketinggian 5.642 mdpl, dan  Gunung Kilimanjaro setinggi 5.895 mdpl di Tanzania, Afrika.

“Targetnya sampai akhir 2012, kami sudah mencapai kedua puncak itu,” ujar Baron, panggilan akrab Hardi.
Mendaki, bagi Baron sarat filosofi hidup. Melatih kesabaran, menaklukkan kesombongan dan ketakutan diri. Berbagai tantangan dan risiko mesti diperhitungkan seksama. Pendaki harus mampu menganalisis dengan baik medan yang akan dilalui, sebab dalam pendakian hanya ada dua pilihan; selamat melewati rintangan atau jatuh menemui ajal. “Kepuasannya ketika sampai di puncak,” imbuh Baron, alumni Marlboro Adventure Team di Colorado, AS, itu.

Maka jangan heran, banyak pendaki top dunia kehilangan nyawanya dalam misi menaklukkan Seven Summits (sebutan untuk tujuh puncak tersebut). Seperti halnya yang menimpa salah satu pendaki yang juga wartawan Kompas, Norman Edwin dan rekannya Didiek Samsu, menghembuskan napas terakhir di puncak Aconcagua di Pegunungan Andes, Argentina.

Baron lalu menuturkan pengalamannya dalam pendakian Carstenz. Ada banyak rintangan yang harus dilewati. Seperti cuaca ekstrem, batu cadas nan terjal, suhu di bawah nol derajat, udara tipis, hingga binatang buas. Rintangan itu harus diperhitungkan sedetail mungkin. Keberhasilan pendaki dalam petualangan sangat bergantung seberapa disiplin mereka menyiapkan diri untuk proses pendakian.
Baron menggarisbawai persiapan fisik, mental, dan bekal untuk memulai proses pendakian. “Ketahanan dan kesehatan fisik sangat perlu, termasuk juga peralatan yang digunakan selama pendakian. Apalagi kalau untuk medan seperti Carstenz, juga diperlukan bekal tali, dan lain-lain,” jelasnya.

Mendaki mampu menumbuhkan kecintaan kepada alam. Mapala Unand, tambah salah satu anggotanya Sartika, tidak membatasi kreativitas anggota. Jika ada usulan atau ide menarik untuk melakukan observasi dan penelitian lingkungan, senantiasa dibahas.

“Ada banyak kegiatan di sini. Mulai dari yang rutinitas seperti bersih-bersih lingkungan, penanaman pohon, olahraga ekstrem, sampai terlibat evakuasi bencana. Semuanya dilakukan di sini,” terangnya.

Di Mapala Unand, memiliki empat divisi, yakni Divisi Rimba Gunung, Panjat Tebing, Penelusuran Goa, dan Arung Jeram. “Tetapi, setiap anggota boleh mengikuti semua kegiatan di Mapala. Walaupun di divisi Arung Jeram, tetap boleh mengikuti yang lain,” katanya.

Keanggotaan di Mapala sudah berdiri sejak 1984 itu bersifat seumur hidup. Maka jangan heran banyak anggotanya yang sudah berusia 50-an. Tujuannya, kata Sartika, agar tidak ada jarak di antara anggotanya. “Jadi mereka bisa sharing, diskusi, dan menularkan kepandaian kepada anggota yang baru,” imbuhnya.

Seabrek prestasi telah dipersembahkan Mapala Unand untuk Unand. Mulai dari juara panjat tebing tingkat Sumbar hingga nasional, finalis arung jeram internasional dan berbagai lomba lintas alam tingkat Sumbar dan nasional.

Diterbitkan di Padang Ekspres, Sabtu 8 Oktober 2011

Tidak ada komentar: