Selasa, 20 Desember 2011

Goro dan Ronda sudah jadi Kebiasaan

Oleh Heri Faisal



Di tengah virus cuek melanda masyarakat zaman sekarang, masih ada kompleks perumahan yang tetap menjaga tradisi gotong royong dan ronda. Dua kegiatan yang tidak saja menjaga lingkungan, tapi sekaligus menjadi ciri dasar masyarakat Indonesia yang perlahan terdengar sayup. Bagaimana ceritanya? 

Pupuk terus keakraban (f/ist)

Sekitar 90 kepala keluarga (KK), para bapak bersama anak istrinya tumpah ruah di sepanjang jalan kompleks perumahan RT/RW 03/07 Kelurahan Jati, Kecamatan Padang Timur, Minggu (17/7) malam. Mereka tidak menuntut kucuran dana gempa atau hendak berdemo ke balai kota.

Beralaskan tikar seadanya yang disediakan dari rumah ke rumah, para bapak duduk rapi bersila memanjang di kiri kanan jalan. Yang lebih tua memakai peci beragam warna. Anak-anak usia sekolah hilir mudik di antara mereka, bermain kejar-kejaran, atau bercengkrama. Sementara ibu-ibu sibuk mengaduk mi, membuat bumbu, menyiapkan piring, sendok, dan perkakas lain.

Terpanggil Ingin jadi Guru PLB

Oleh Heri Faisal


Dengan seksama, lelaki 19 tahun itu mendengarkan kata demi kata yang dibacakan pengawas ujian SNMPTN, Selasa (31/5). Beberapa detik kemudian tangannya memberikan kode dengan mengangkat empat jari, menandakan ia memilih jawaban D.

Nasrul (tengah, berkacamata) dibantu petugas khusus membacakan lembar ujian. Panitia SNMPTN belum bisa menyediakan lembar khusus tunanetra (f/sy ridwan)

Begitulah sepanjang 90 menit waktu yang diberikan panitia SNMPTN untuk menyelesaikan soal ujian. Dengan gigih ia mendengarkan. Sesekali tangannya sibuk mengutak atik riglet, alat khusus bagi tunanetra untuk menuliskan huruf-huruf braille, berarti ia tengah menghitung-hitung rumus untuk mendapatkan jawaban.

Di ruang guru SMA Bunda Ulakkarang Padang, Nasrul, peserta tunanetra mengikuti ujian dengan dibantu pengawas khusus. Ia sengaja mengikuti ujian secara terpisah karena panitia SNMPTN tidak memiliki lembar soal khusus tunanetra. Padahal, Nasrul mengaku sangat membutuhkan lembar-lembar soal yang menggunakan huruf braille. ”Kalau ujian seperti ini lama. Harus mendengarkan dulu, waktunya tidak cukup,” kata Nasrul ketika ditemui wartawan saat jeda ujian kedua.

Minggu, 18 Desember 2011

Berkat Mereka Kita Merdeka

Penjaga Makam Pahlawan Peraih Satya Lencana

Oleh Heri Faisal


Pria renta itu tak pernah menyangka dianugerahi bintang Satya Lencana oleh pemerintah Republik Indonesia. Atas pengabdiannya selama 36 tahun di makam pahlawan, Darmawi diganjar penghargaan di senja kala. Bagaimana kisahnya? 

Darmawi ditemui tengah menjalankan rutinitas membersihkan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Negara, di Jalan S Parman, Padang (f/heri)

Darmawi, 72, masih bersemangat menyiangi rumput-rumput yang tumbuh di sekitar 1.700-an makam yang berjejer rapi di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Jalan Siswondo Parman, Lolong, Padang.

Terik matahari tak menyurutkannya membersihkan kuburan para pahlawan itu. Areal seluas tiga hektare itu, dia kerjakan bersama tiga orang lainnya, Hendryanto (putranya), Marju, dan Rahmat.

Merasakan Tarawih Seperti di Mekkah

Oleh Heri Faisal


Jika anda ingin merasakan shalat Tarawih di bulan Ramadhan ini layaknya shalat di kota Mekkah, maka datanglah ke Masjid Muhammadan, Jalan Pasar Batipuh, Kelurahan Pasar Gadang, Kecamatan Padang Selatan, atau lebih dikenal dengan sebutan Kampung Keling, kota tua Padang.

Shalat tarawih 23 rakaat dengan bacaan ayat satu juz semalam seperti di Mekkah dapat dirasakan di Masjid Muhammadan, Kota tua Padang. (f/sy ridwan)

Bukan berarti di sini ada pula Kabbah seperti di Masjidil Haram, Mekkah. Yang anda dapatkan adalah suasana shalat Tarawih yang lumayan lama dan panjang. Pasalnya, masjid ini menggunakan hitungan 23 rakaat untuk shalat Tarawih termasuk shalat Witir tiga rakaat.

Yang lebih penting, bacaan ayat shalat sebanyak satu juz semalam. Sehingga selama bulan Ramadhan, bacaan 30 juz ayat Al Quran bisa ditamatkan. “Imamnya kami minta yang hafal Al Quran. Untuk waktu shalat memang agak lumayan lama, sekitar dua jam untuk shalatnya saja,” kata P. Shahib Khalid, pengurus masjid tersebut.

Jadi Benteng Pertahanan ketika Diserang Belanda

Masjid Raya Surau Gadang

Oleh Heri Faisal


Beberapa tahun menjelang kemerdekaan, serangan Belanda terhadap penduduk pribumi semakin gencar, tak terkecuali di Padang. Kawasan Surau Gadang Kecamatan Nanggalo Padang tak luput dari gempuran tentara Belanda.

Ketika serangan Belanda makin genjar menjelang kemerdekaan, masjid ini menjadi tempat berlindung warga. (f/sy ridwan)

Menurut Desmiwati, 46, warga Surau Gadang, berdasarkan cerita almarhum orangtuanya, serangan Belanda juga bertubi-tubi kepada masyarakat di kawasan Surau Gadang Kecamatan Nanggalo.

Sehingga untuk menyelamatkan diri mereka mengungsi ke Masjid Raya Nanggalo, Surau Gadang. Nama yang kini tertera di plang besar depan masjid, di Jalan Jamil-Jamal, Kelurahan Surau Gadang, Kecamatan Nanggalo.

Basis Penyebaran Islam Syekh Khatib Muhammad Ali

Masjid Istighfar Parak Gadang

Oleh Heri Faisal

Sepintas tidak ada yang menarik dari masjid tua itu. Apalagi ditunjang dengan letaknya yang sama sekali tidak mencolok, karena berada di tengah-tengah rumah warga. Lokasi berdirinya tidak familiar seperti kebanyakan masjid modern di tepi jalan raya.

Masjid Istighfar di Parak Gadang yang kental dengan arsitektur Belanda menjadi basis perjuangan Syekh Khatib Muhammad Ali. (f/sy ridwan)

Selain sebuah kuburan tua, dan arsitektur masjid yang tidak mencirikan kekhasan bangunan Minangkabau, masjid ini tak memiliki banyak sisi untuk disebut luar biasa. Tapi cobalah sedikit digali lebih dalam, kuburan tua dan arsitektur berbeda itulah daya tarik masjid tersebut.

Masjid Istighfar yang berlokasi di jalan Parakgadang, Kelurahan Ganting Parakgadang, Kecamatan Padang Timur memang memiliki sejarah panjang. Terutama dengan kuburan tua itu. Di sana dimakamkan Maulana Syekh Khatib Muhammad Ali, pendiri masjid tersebut.

Pertahankan Pendidikan Berkarakter Islam

Sekolah Agama PGAI Dr Abdullah Ahmad

Oleh Heri Faisal

Salah satu sekolah agama di Kota Padang yang tetap eksis sampai saat ini adalah milik Yayasan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Pendirinya adalah ulama Sumbar, termasuk Dr Abdullah Ahmad tahun 1919 silam.

Sekolah PGAI masih tetap mempertahankan pendidikan berkarakter Islam di tengah pengaruh pendidikan global (f/sy ridwan)

Target yang ingin kami capai, anak didik di sini (PGAI-red) tidak ada yang tidak pandai baca Al Quran. Untuk tingkatan MA dan SMA, harus bisa jadi imam shalat dan menjadi khatib shalat Jumat,” kata Yulius Said kepada Padang Ekspres Minggu (21/8).

Ya, begitulah upaya mereka untuk mengembalikan marwah sekolah tersebut agar kembali mampu mencetak mubaligh-mubaligh seperti cita-cita awal saat pendiriannya.

Siap Lahirkan Kembali Tokoh Nasional

Sejarah Panjang Perguruan Adabiah

Oleh Heri Faisal



Saat anda berkunjung ke kompleks Adabiah di Jalan Perintis Kemerdekaan, kelurahan Jati, Kecamatan Padang Timur, anda akan merasakan suasana pendidikan yang sesungguhnya. Bangunan sekolah mulai dari taman kanak-kanak, hingga sekolah tinggi berdiri rapi memenuhi lahan 1,6 hektare itu. Rasanya, sulit dipercaya bahwa sekolah ini berawal dari belajar di surau.

Masjid di komplek Perguruan Adabiah kembali berdiri megah pasca ambruk akibat gempa. (f/sy ridwan)

Menurut Muchlis Muchtar, Ketua Yayasan Syarikat Oesaha (YSO) yang menaungi TK, SD, SMP, SMA, dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Adabiah, sekolah tersebut bermula dari kegiatan mengaji di surau.

Dr Abdullah Ahmad, seorang tokoh agama di masa kolonial Belanda mendirikan pengajian atau madrasah Adabiah pada 1909. Tujuannya selain untuk memberikan pendalaman ilmu agama, juga ingin mencerdaskan anak-anak pribumi yang tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan Belanda.

Jadikan Spirit Membangun Sumbar

Peringatan Dua Tahun Gempa

Oleh Heri Faisal & Yurisman Malalak

Dahsyatnya gempa 7,9 SR yang mengguncang Sumbar dua tahun silam seketika menyeruak. Rona kesedihan memancar pada saat detik-detik peringatan dua tahun gempa Sumbar di Padang dan Padangpariaman, dua daerah terparah diguncang gempa pada 30 September 2009.


Ketua Umum partai Demokrat Anas Urbaningrum didampingi Sekjen Edhi Baskoro dan Walikota Padang Fauzi Bahar mengunjungi monumen peringatan gempa di Jalan Gereja, Padang. (f/sy ridwan)

Suasana mengharu biru tatkala Qurata Ayuna, 15, dengan kursi roda menghadiri peringatan dua tahun gempa di Monumen Gempa, Jalan Gereja, Taman Melati, kemarin (30/9). Siswi SMPN 8 Padang itu melempar senyum ketika Wali Kota Padang Fauzi Bahar datang menghampirinya. Dia tampak ingin menunjukkan pada dunia bahwa orang Sumbar bermental baja meski babak belur dihoyak gempa dua tahun silam.

Ketegaran Qurata mengundang haru warga Padang yang menghadiri detik-detik peringatan gempa 30 September, pukul 17.16 WIB. Melihat ketegaran Qurata, membuat warga Padang yang hadir dalam peringatan itu, tak kuasa menahan linangan air mata.

Helm Pahlawan pun Dicuri

Oleh Heri Faisal

Pemerintah daerah dan masyarakat tampaknya kurang peduli terhadap peninggalan-peninggalan sejarah. Seperti tugu-tugu, monumen, gedung maupun tempat bersejarah lainnya. Di beberapa titik di Kota Padang, peninggalan sejarah itu tampak tak terawat.


Helm di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negera Padang sering kali digondol maling. (f/sy ridwan)

Pantauan Padang Ekspres kemarin (9/11), beberapa peninggalan bersejarah seperti tugu dan patung di simpang Tinju, Jalan Khatib Sulaiman, Jalan Sudirman, Gedung Joeang di Jalan Samudera, dan Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Jalan S Parman belum terawat dengan baik.

Di beberapa tugu dan patung pahlawan pejuang kemerdekaan, lumut tumbuh di sana sini. Beberapa bagian tugu mulai retak dan warnanya kusam. Seperti Tugu Tinju, masyarakat sekitar bahkan ada yang tidak tahu untuk apa tugu tersebut didirikan.

Sabtu, 17 Desember 2011

Tabungan Habis, Melaut tak Bisa

Oleh Heri Faisal & Haris Prima



Ibarat jatuh, tertimpa tangga pula. Begitulah kini nasib sebagian besar warga Pasiagurun, kelurahan Pasia Nantigo, Kototangah, Padang. Sejak abrasi menerjang Agustus lalu, nasib mereka kian tak tentu arah.  

 Belasan rumah di Pasia Nan Tigo rusak parah terkena abrasi. (f/sy ridwan)

Belasan rumah di sepanjang pantai barat Sumatera, kawasan Pasiagurun, Kelurahan Pasia Nan Tigo, Kototangah, Padang kini berubah bentuk. Jika dulu tampak asri, dikelilingi pohon kelapa, dan sesekali deburan lembut ombak menuju pantai jadi sajian hangat.

Kini, pemandangan itu tak ada lagi. Rumah-rumah penduduk itu tak lagi utuh. Beberapa rumah tampak kehilangan dapurnya yang menghadap ke laut. Runtuh akibat abrasi yang mengikis fondasinya. Beberapa rumah lagi bahkan tak bisa ditempati sama sekali. Retak dan rusak di mana-mana.

Butuh Rp 20 Juta untuk BAB

Oleh Heri Faisal


Akibat tumor usus yang diidapnya, Agusril, 47, harus menjalani kolostomi atau pemindahan saluran pencernaan untuk buang air besar (BAB), Juni lalu. Setelah tumor diangkat, kini dia harus dioperasi kembali untuk mengembalikan saluran pembuangannya ke tempat semula. Sayang, biaya Rp 20 juta tak sanggup ditanggungnya.

Agusril (47), penderita tumor usus, butuh sekitar Rp 20 juta untuk operasi pengembalian saluran pembuangan. (f/sy ridwan)

Sejak perutnya membesar pada awal tahun lalu, Agusril, warga Koto Marapak, Padang Barat, kian resah. Dia takut jika sampai harus dibawa ke rumah sakit. Pasalnya, lelaki kurus ini tak memiliki sedikit pun tabungan untuk menebus biaya rumah sakit.

Dugaannya benar. Perutnya yang terus membesar menimbulkan rasa sakit tak terkira. Mau tidak mau dia harus dirujuk ke rumah sakit. “Mulanya dia mengaku tidak bisa buang air besar. Lama-lama perutnya terus membesar, kami sarankan saja untuk periksa,” kata Amrizal, tetangga juga teman sepermainannya, ketika berkunjung ke redaksi Padang Ekspres, kemarin.

Ketika Penyakit Masyarakat Mewabah di Padang

Pemerintah Mandul, Kontrol Sosial Lemah

Oleh Heri Faisal & Willian

Pergaulan muda-mudi Kota Padang hampir tidak ada bedanya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Semakin bebas. Virus hedonis dan liberal yang kini merambah generasi muda Padang, membuat penyakit masyarakat kian mewabah.
Generasi muda Minangkabau terlela dengan berbagai perubahan. Lupa adat, lupa budaya. (karikatur/ Cornelis)

Bila Medan, Pekanbaru dan kota besar lainnya adalah lumrah melihat muda-mudi bercumbu di tempat umum, adalah tabu bila pemandangan itu terjadi di Padang yang dikenal religius ini.

Tapi kini, pergaulan bebas muda mudi itu sudah menjadi pemandangan lumrah di ibu kota Sumbar ini. Masyarakat semakin permisif dengan perilaku menyimpang muda mudi di Padang. Seks bebas anak muda makin menjadi-jadi. Ini didukung lingkungan sosial yang makin cuek, menjamurnya tempat-tempat hiburan dan kawasan wisata yang menyediakan tempat mesum.

Ketika Virus Westernisasi Mewabah

Pacaran tak Sehat, AIDS Mengintai

Oleh Heri Faisal & Hari Busroh


Pergaulan remaja bikin detak jantung para orangtua berdegup kencang. Gaya berpacarannya makin bebas. Urat malu pelajar dan mahasiswa “Ranah Bundo” ini, telah putus. Mereka tak malu-malu lagi menunjukkan adegan hot di depan umum. 

Sepasang remaja tengah bermesraan di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Imam Bonjol Padang. Rasa malu kian hilang. (f/sy ridwan)

Virus westernisasi alias kebarat-baratan, benar-benar mewabah di kalangan muda-mudi ibu kota Sumbar ini. Dibilang udik, kuno, jadul dan sederet cimeeh lainnya bila berpacaran tidak hot.

Kalangan pelajar dan mahasiswa menjadi sasaran empuk gaya hidup hedonis dan liberal itu. Bercumbu di muka umum, sudah menjadi pemandangan sehari-hari di tempat umum.

Menyingkap Gaya Pacaran Muda- Mudi

Warga Permisif, Kos Ajang Mesum

Oleh Heri Faisal

Pergaulan pelajar dan mahasiswa di Padang kian mengkhawatirkan. Tempat kos-kosan, menjadi lokasi favorit bagi muda-mudi memadu kasih. Seperti apa kehidupan rumah kos-kosan di Padang?
Rumah kos jadi tempat mesum paling aman. (karikatur/ Cornelis)

Aura hedonis seketika menyergap pandangan begitu berada di kawasan permukiman pelajar dan mahasiswa. Pasangan muda-mudi dengan tampilan gaul, menghiasi setiap sudut perkampungan.

 Di teras-teras rumah kos, ramai oleh muda-mudi berpacaran. Pemandangan itu mencolok di kawasan Airtawar, Ulakkarang, Jati, Lubuklintah, maupun Pasarbaru.

Tanamkan Percaya Diri, Dilatih Jadi Tukang Pijat

Oleh Heri Faisal & Haris Prima


Di mata Tuhan, semua manusia sama. Tidak ada satu pun yang membedakan kecuali ketakwaannya. Namun realitasnya, orang-orang cacat selalu terpinggirkan dalam kehidupan nyata.


Siswa panti Tuah Sakato diajarkan keahlian memijat. Kelak keahlian ini diharapkan mampu menopang masa depannya. (f/repro)

Diskriminasi itulah yang ingin diubah Kepala Seksi Pelayanan Keterampilan dan Kecakapan, Panti Sosial Bina Netra (PSBN) “Tuah Sakato” Dinas Sosial Sumbar, Artina. Baginya, setiap orang memiliki kesempatan dan kelebihan yang tidak dimiliki manusia lainnya. Tak terkecuali mereka yang cacat, sekalipun.

Sore itu, Minggu (4/12), Padang Ekspres mengunjungi PSBN yang dikelolanya di Jalan Wisma Bunda, Kalumbuk, Kuranji, Padang. Panti itu sepi hanya dua tiga wanita tampak santai di depan asrama. Ada yang menyisir rambut, menggunting kuku, dan memainkan telepon genggam.

Atasi Jeratan Ekonomi, Lestarikan Kuliner Lokal

Oleh Heri Faisal
 
Modernisasi membuat kuliner tradisional tak banyak diminati. Anak muda lebih suka menyantap makanan siap saji daripada mengonsumsi makanan tradisional. Lambat laun, kuliner warisan budaya ini tak lagi dilirik. Meski begitu, masih ada satu dua peduli dan menggantungkan hidupnya dari makanan khas Minangkabau tersebut. Bagaimana kisahnya?

Mailinar (57), Penjual Kue Mangkuk Sayak di Koto Tangah, Padang. Tetap berusaha mengantungkan hidup dengan kuliner lokal. (f/sy ridwan)

Pasar pagi di Pasiakandang, Pasia Nantigo, Kototangah, Padang, setiap paginya selalu ramai dikunjungi warga setempat. Pasar tradisional di tepi pantai ini menyediakan segala macam kebutuhan harian. Mulai dari lauk-pauk, sayur mayur, makanan hingga mainan anak, tersedia di sini. Meski tak besar, pasar dengan luas sekitar 50 meter itu memiliki keunikan sendiri.

Salah satunya lapak milik Mailinar, 57. Ukurannya hanya 3 x 2 meter. Hanya ada dua kursi panjang dilengkapi meja. Setiap pagi, kedai ini selalu ramai dikunjungi pembeli. “Kalau pas ramai tak sanggup melayani pembeli,” katanya kepada Padang Ekspres, kemarin (6/12) . Ibu delapan anak itu menjual kue mangkuk sayak khas Minangkabau.